Oleh: Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LLM*
Seperti halnya bahasa Indonesia yang memiliki struktur kalimat SPOK (Subjek, Prediket, Objek dan Keterangan). Bahasa Arab juga memiliki struktur kalimat yang tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Misalnya dalam kalimat ḍaraba zaidun kalban waḥdahu (Zaid sendiri yang telah memukul anjing).
Dalam struktur kalimat ini kata “ḍaraba” merupakan kata kerja bentuk lampau (fi‘il māḍī). Kata zaidun berkedudukan sebagai subjek (fā‘il). Kata “kalbān” berkedudukan sebagai objek (maf‘ūl), sedangkan kata “waḥdahu” berkedudukan sebagai kata keterangan (ḥāl).
Dalam Surat Al-Fātiḥaḥ ayat 5 pola umum dalam bahasa Arab itu tidak digunakan Allah dalam menyampaikan maksudnya. Dalam ayat tersebut Allah berfirman “Iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn” (kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mu lah kami memohon pertolongan). Ayat ini memiliki struktur objek-prediket dan bukan prediket-objek. Pada penggalan pertama ayat 5, kata “iyyāka” berkedudukan sebagai objek dan kata “na‘budu” berkedudukan sebagai prediket.
Begitu juga pada penggalan kedua, kata “iyyāka” berkedudukan sebagai objek sedangkan kata “nasta‘īn” berkedudukan sebagai prediket.
Menurut Ibn Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm struktur objek-prediket dalam ayat ke-5 dari surat Al-Fātiḥah menunjukkan penekanan ayat ini sebenarnya pada objek (iyyāka) dan bukan pada prediket (na‘budu dan nasta‘īn).
Dalam ilmu naḥwu (Arabic gramatical), kata “iyyāka” berkedudukan sebagai ḍamīr muttaṣil (object of preposition), yaitu objek yang bersambung penulisannya dengan kata ganti. Kata “إيا” merupakan objek, sedangkan huruf “ك” merupakan ḍamīr (kata ganti) untuk orang kedua tunggal.
Penggunaan kata ganti untuk orang kedua tunggal seperti kamu dan engkau, digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk lawan bicara yang bertatap muka langsung dengan pembicara pertama (mutakallim).
Padahal saat kita membaca ayat ini – baik dalam shalat maupun di luar shalat – Allah sebagai lawan dialog kita tidak berada di hadapan kita. Dalam konteks ini, semestinya penggunaan kata ganti yang lebih tepat adalah kata ganti untuk orang ketiga tunggal seperti kata huwa (dia, nya). Sehingga ayat kelima ini tepatnya berbunyi iyyāhu na‘budu wa iyyahu nasta‘īn (kepada-Nya lah kami menyembah dan kepada-Nya lah kami memohon pertolongan). Tetapi tidak ada satu pun qirā’āt yang membaca seperti itu.
Dalam ilmu tasawuf, penggunaan kata ganti yang berlawan konteks ini dipahami sebagai keinginan Allah agar manusia menyembah Allah seolah-olah merasa melihat langsung kepada Allah (an ta‘budallāha kaannaka tarāhu).
Jika level ini terlalu sulit, maka yakinlah Allah melihat kita (fainlam takun tarāhu huwa yarāka). Kedua kalimat ini dalam hadits dikenal dengan konsep ihsan sebagaimana diriwayatkan dalam Ṣaḥīh Muslim.
Ihsan memiliki kedudukan tinggi dalam ajaran Islam.
Bahkan Islam dan Iman didudukkan di bawah ajaran Ihsan sebagaimana yang muncul dalam dialog antara Jibril dengan Nabi. Inilah sebabnya konsep ihsan mendapatkan perhatian penuh dalam ilmu tasawuf. Manusia yang dalam kesehariannya merasa jauh dari pengawasan Allah, tidak ada kebaikan sejati pada orang itu. Ia masih berpotensi besar untuk mendurhakai Allah.
Untuk menumbuhkan “pengawasan Allah” dalam diri manusia, para ulama tasawuf mengembangkan satu konsep lagi yang dikenal dengan “murāqabah ba‘da musyāhadah”. Suatu konsep di mana pengawasan Allah pada diri manusia akan tumbuh bersemi seiring kemampuan manusia yang selalu merasa melihat Allah dalam menjalani aktifitas sehari-hari.
Ada kisah menarik yang diceritakan oleh Ibn ‘Allān dalam kitabnya al-Futūḥāt al-Rabbāniyyah mengenai perjalanan spiritual seorang sufi besar bernama Sahl bin ‘Abdullah al-Tustarī. Dalam usia tiga tahun, Sahl sudah terbiasa mengerjakan shalat malam.
Pada suatu malam, ia menyaksikan pamannya, Muḥammad bin Siwār mengerjakan shalat malam dengan sangat khusyuk. Selesai shalat, Pamanya bertanya kepada Sahl, “Apakah shalat malam mu membuat dirimu mengingat Allah?,” Sahl kecil tentu menjawab “tidak.”
Sejurus kemudian, pamannya menawarkan suatu amalan yang dapat membuat Sahl selalu mengingat Allah. “ucapkanlah dalam hatimu kalimat Allāhu ma‘ī, Allāhu nāẓirun ilayya, Allahu syāhidun ‘alaiyya (Allah bersamaku, Allah melihatku, Allah menyaksikanku) sebanyak tiga kali setiap malam. Setelah tiga malam berlalu, Sahl kembali menemui pamannya.
Pamannya pun meminta Sahl untuk meningkatkan kuantitas bacaannya sampai tujuh kali sehari. Sebulan kemudian, Sahl kembali menjumpai pamannya. Pamannya kembali meminta Sahl untuk meningkatkan bacaan “mantranya” sampai sebelas kali. Setelah setahun mengamalkan kalimat tersebut, Sahl mengalami semacam perasaan the joy in solitude (ḥalāwatun fī sirrī).
Melihat pengaruh luar biasa dari amalan tersebut, suatu hari Muhammad kembali memanggil keponakannya itu dan berwasiat “iḥfaẓ mā ‘alamtuka wa dumma ‘alaihi ilā an tadkhula al-qabra fa innahu yanfa‘aka fī al-dunyā wa al-ākhirah (jagalah dengan teguh apa yang telah aku ajarkan kepada mu, karena ia sangat bermanfaat bagimu dunia dan akhirat).
Wejangan pamannya itu terbukti dalam kehidupan Sahl. Sahl menjadi begitu mudah memahami ilmu pengetahuan. Bahkan ia mampu menghafal keseluruhan al-Qur’an dalam usia enam tahun. Usia yang sangat belia bahkan untuk ukuran sekarang di saat menghafal al-Qur’an telah menjadi trending.
Di akhir hayatnya, Muhammad kembali berwasiat kepada keponakannya itu, “Jika Allah selalu melihat, menyaksikan dan bahkan bersama seseorang, apakah mungkin orang tersebut berani mendurhakai Allah?” Pertanyaan yang semua kita bisa menjawabnya meskipun sulit untuk diamalkan.
Tapi, semoga dengan memahami penjelasan di atas, Allah akan hadir bersama kita saat kita mengucapkan “iyyāka na‘budu wa iyyāka nasta‘īn”. Semoga!
*Penulis Sekretaris Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Ar-Raniry