Asyura, Tragedi Karbala, dan Sentimen Umayyah terhadap Ahlul Bait
Penting dicatat, sikap represif terhadap Ahlul Bait bukan dimulai dari Karbala. Sejak masa Muawiyah, terdapat upaya sistematis untuk menyingkirkan loyalis Ali dari posisi penting dalam pemerintahan. Bahkan, catatan sejarah menunjukkan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh seperti Hujr bin Adi karena tetap setia kepada Ali. Fakta ini menandakan permusuhan ideologis yang lebih dalam.
Yazid, putra Muawiyah, dilaporkan oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tarikhul Khulafa sebagai pemabuk, penggila hiburan, dan lalai dalam urusan agama. Kenyataan ini membuat sebagian besar umat Islam saat itu menolak kepemimpinannya. Namun, karena ia adalah simbol dinasti, maka seluruh perangkat negara dikerahkan untuk mempertahankan kekuasaannya, termasuk dengan menumpas al-Husain. (As-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, [Beirut: Darul Arqam, 2016], h. 164)
Karbala menjadi simbol ketidakadilan politik dalam sejarah Islam. Ahlul Bait yang seharusnya dimuliakan sebagai keluarga Nabi justru diperlakukan sebagai musuh negara. Mereka dibunuh, ditawan, dan dipermalukan di hadapan publik. Narasi ini bertahan dalam memori kolektif umat, terutama kalangan pecinta Ahlul Bait.
Sikap Bani Umayyah terhadap Ahlul Bait tidak berhenti di Karbala. Penerus Yazid seperti Marwan bin Hakam dan Abdul Malik bin Marwan terus melanggengkan diskriminasi. Khalifah-khalifah ini secara sistematis membungkam kritik dengan cara represif, termasuk terhadap keturunan Nabi yang menolak bekerja sama dengan rezim.
Abdul Malik bin Marwan, misalnya, melalui tangan al-Hajjaj bin Yusuf, dikenal kejam terhadap tokoh-tokoh yang masih menunjukkan simpati kepada keluarga Nabi. Bahkan, al-Hajjaj pernah membunuh Said bin Jubair, seorang tabi’in yang dikenal karena ketaatannya. Semua ini menunjukkan betapa kerasnya sikap Umayyah terhadap oposisi, khususnya yang berasal dari Ahlul Bait. (Ath-Thabari, Tarikhul Umam wal Muluk, [Kairo: Darul Ma’arif, 1967], juz XI, h. 641)
Pengendalian Narasi Publik
Sejarah mencatat bahwa para khalifah Umayyah berusaha menciptakan narasi non-historiografi resmi yang menegasikan peran Ahlul Bait. Maksud non-historiografi di sini karena pada era Umayyah, narasi sejarah tidak disampaikan melalui karya sejarah tertulis, tetapi melalui instrumen-instrumen narasi publik seperti khutbah Jumat, syair resmi, dan pidato-pidato di mimbar. Khalifah dan pejabat Umayyah menyadari bahwa legitimasi kekuasaan tidak cukup dengan pedang, tetapi harus didukung narasi yang membentuk persepsi umat.