Keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah, Konspirasi Menghancurkan Umat Islam
Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Khilafah Sulaiman Al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan zaman kejayaan Kesultanan Utsmaniyah. Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni meninggal dunia, kesultanan Utsmani mulai mengalami kemunduran dan kemerosotan.
Kemunduran Kesultanan Utsmaniyah lebih disebabkan karena faktor internal. Menurut Prof. Ali Muhammad Ash-Shalabi yaitu penyimpangan terhadap ajaran Islam antara lain:
- Menyebarnya fenomena kemusyrikan, bidah dan khurafat
- Menyebarnya kedzaliman dari para pemimpin (umara) terhadap rakyatnya
- Kehidupan penuh foya-foya dan tenggelam dalam syahwat
- Perselisihan dan perpecahan di kalangan para pemimpin dan rakyat
- Kejumudan (sikap kaku dan tidak mau menerima perubahan) di kalangan ulama saat itu.
- Di tengah kemelut internal yang terjadi di Kesultanan Utsmaniyah itu, musuh-musuh terus melakukan berbagai macam upaya agar Turki Utsmani segera hancur. Apabila sebelumnya usaha menghancurkan Turki hanya dilakukan oleh orang-orang Kristen, maka upaya selanjutnya dilakukan oleh orang-orang Kristen dan Yahudi, terutama yang bergabung dalam gerakan Freemansory. Mereka bergabung dan bekerjasama melakukan konspirasi. Freemansory adalah sebuah gerakan yang bertujuan menghapuskan agama dalam kehidupan ummat manusia.
Upaya-upaya yang dilakukan Kristen dan Yahudi sebagai bentuk konspirasi untuk menghancurkan Kesultanan Utsmaniyah antara lain:
- Mendirikan pusat-pusat kajian ketimuran (center of the oriental studies). Pusat-pusat kajian itu kebanyakan milik Inggris, Perancis dan Amerika. Pusat kajian itu digunakan oleh musuh-musuh Islam untuk mengembangkan pemikiran mereka di dunia Islam sekaligus menyerang pemikiran Islam. Di pusat-pusat kajian itu, bergabung pula gerakan misionaris yang merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat. Mereka berpandangan bahwa untuk menguasai dunia, maka Islam harus dihancurkan dan khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk itu mereka para penyerang pemikiran Islam dengan menyebarkan faham nasionalisme buta (chauvinisme) dan menciptakan stigma negatif terhadap Khilafah Utsmaniyah dengan sebutan The Sick Man (orang sakit).
- Mengobarkan semangat separatisme dan memprovokasi gerakan nasionalisme untuk memberontak dan memisahkan diri dari kesatuan Khilafah Utsmaniyah. Untuk itu, Inggris mengirimkan seorang anak dari hasil hubungan di luar nikah, bernama Thomas Edward Laurence (1888-1935) alias Laurence Al-Arabiya. Ia sukses mendorong revolusi Arab melawan Khilafah Utsmaniyah. Edward Laurence secara aktif terlibat bersama bangsa Arab menyerang Turki. Mereka, bangsa Arab tidak menyadari ada kepentingan politik Inggris dan sekutunya yang sedang menjalankan taktik devide et impera (politik peecah belah) di balik bantuan Laurence. Di belakang layar, Perancis, Inggris dan Rusia telah mengadakan perjanjian untuk membagi wilayah Arab menjadi daerah-daerah jajahan setelah runtuhnya Kesultanan Turki Utsmani. Akhirnya, berdasarkan perjanjian Sykes-Picot (16 Mei 1916), wilayah Syam dibagi-bagi menjadi Suriah, Lebanon, Irak Selatan dan wilayah tenggara Turki diberikan kepada Perancis. Sementara Inggris mengambil Palestina, Yordania, Irak Utara dan akses ke Mediterania. Sisanya, yaitu wilayah-wilayah bekas kekuasaan Turki diambil oleh Rusia.
- Mengeksploitasi gerakan-gerakan keagamaan, seperti gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-10 M, gerakan ini dimanfaatkan oleh Ibnu Suud untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah kekuasaan Khilafah Turki. Menurut salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, Abdul Qadir Zallum, pemberontakan dilakukan di daerah Hijaz dan sekitarnya. Namun hal ini dibantah oleh Syaikh Bin Baz dengan mengatakan:” Sejauh pengetahuan saya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah memberontak terhadap Kekhilafahan Turki Utsmani karena wilayah Nejd pada saat itu tidak berada di wilayah kekuasaan Turki Utsmani. Namun beliau berjuang melawan kerusakan negerinya dan terus seperti itu sampai akhir dakwah beliau meluas ke wilayah-wilayah sekitarnya.
- Menjadikan Musthafa Kamal Affandi (yang di kemudian hari berumah menjadi At-Taturk, 1881-1938) sebagai pahlawan boneka. Musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi dan Kristen melihat bahwa meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah bukanlah suatu perkara yang mudah. Mereka melihat, hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan membuat seorang pahlawan boneka dan membangun pencitraan bahwa dia adalah seorang tokoh besar yang luar biasa. Intelijen-intelijen Inggris berhasil menemukan “impiannya”, yakni Musthafa Kemal Affandi, seorang tokoh Yahudi di sebuah kota di Turki, Tesalokia. Arnold Toynbee (1889-1975) seorang sejarawan Inggris yang diakui otoritasnya di dunia modern, memberi catatan tentang nasab Musthafa Kamal dengan mengatakan:” Sesungguhnya darah Yahudi mengalir deras di keluarga Musthafa Kamal, sebab Selonika (Tesalonika) merupakan tempat orang-orang Yahudi. Mereka tinggal di tempat itu sejak mereka ditimpa cobaan dan pengasingan. Mereka menyembunyikan kepercayaan mereka yang sebenarnya (Agama Yahudi) dan berpura-pura memeluk Islam. Namun tabiat dan karakter, warna mata dan tubuh Kamal At-Taturk tidak menunjukkan kedekatan pengaruh darah Yahudi ada dalam dirinya.
Sementara itu, Usamah Agnaya, sebagaimana yang dinukil oleh Prof. Ali Muhammad As-Shalabi mengutip dari buku “ Yahudul Dimamah” berkata:” Sesungguhnya Yahudi Dumamah sangat bangga dengan Kemal At-Taturk dan berkeyakinan dengan keyakinan yang kokoh bahwa ia adalah bagian dari mereka. Alasan mereka dalam masalah ini adalah bahwa Kemal At-Taturk menyatakan dengan jelas penentangannya terhadap Islam tatkala ia merebut kekuasaan.