Infoacehnet

Portal Berita dan Informasi Aceh

Menelusuri Makna Gelar Haji: Antara Tradisi, Regulasi, dan Penghormatan Sosial

Penyematan gelar “Haji” di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa silam ketika perjalanan ke Tanah Suci bukan perkara mudah. Pada masa itu, jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama berbulan-bulan, menghadapi cuaca ekstrem, ancaman perompak, hingga tantangan berat saat melintasi padang pasir di Arab Saudi.
Fauzan M Saman
Aceh mendapatkan kuota jamaah haji 4.378 orang yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci, Arab Saudi tahun 2025 Masehi/1446 Hijriah

Infoaceh.net, JAKARTA – Setiap tahun, ribuan umat Islam dari Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Sepulangnya dari ibadah tersebut, tak sedikit dari mereka yang menyandang gelar “Haji” atau “Hajjah” di depan namanya.

Gelar ini bukan semata simbol keberhasilan melaksanakan rukun Islam kelima, tetapi juga sarat makna sejarah, sosial, dan religius, terutama dalam konteks budaya masyarakat Indonesia.

Jejak awal penyematan gelar haji

Penyematan gelar “Haji” di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa silam ketika perjalanan ke Tanah Suci bukan perkara mudah. Pada masa itu, jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama berbulan-bulan, menghadapi cuaca ekstrem, ancaman perompak, hingga tantangan berat saat melintasi padang pasir di Arab Saudi.

Ketika jamaah berhasil kembali ke Tanah Air dalam keadaan selamat, masyarakat menganggap mereka telah melalui ujian fisik dan spiritual yang luar biasa. Oleh karena itu, gelar “Haji” menjadi bentuk penghormatan atas keberhasilan menunaikan salah satu ibadah paling berat dan sakral dalam Islam. Gelar ini juga sekaligus menjadi simbol status sosial, karena pada masa lampau tidak semua orang mampu berhaji, baik dari segi biaya maupun waktu.

Tak mengherankan, para ulama, tokoh masyarakat, hingga pejabat yang telah melaksanakan ibadah haji kerap menyematkan gelar tersebut. Narasi perjalanan yang penuh tantangan turut memperkuat citra gelar ini sebagai bentuk prestise dan kebanggaan di tengah masyarakat Muslim Indonesia.

Regulasi ketat pada masa kolonial

Sejarah mencatat bahwa penggunaan gelar “Haji” dan atribut khas haji tidak lepas dari kontrol pemerintah kolonial Belanda. Dalam Staatsblad No. 42 Tahun 1859, pemerintah Hindia Belanda mewajibkan calon jamaah untuk mengajukan izin perjalanan kepada bupati setempat sebelum berangkat ke Mekah. Sepulangnya dari Tanah Suci, mereka juga diwajibkan melapor dan menjalani proses verifikasi untuk memastikan keabsahan ibadah haji yang telah dijalankan.

Proses ini mencakup pengujian yang dilakukan oleh pejabat lokal untuk memastikan bahwa seseorang benar-benar telah menunaikan ibadah haji. Bila lulus, mereka akan mendapatkan sertifikat resmi yang memperbolehkan mereka menyandang gelar “Haji” serta mengenakan pakaian khas haji. Calon jamaah juga harus membuktikan kemampuan finansial, baik untuk perjalanan pulang-pergi maupun untuk keluarga yang ditinggalkan di Tanah Air.

Aturan ini tidak luput dari kritik para intelektual kolonial. Karel Frederick Holle, seorang Adviseur voor Inlandsche Zaken, menolak pelarangan berpakaian haji karena dikhawatirkan memicu keresahan rakyat. Ia menilai pakaian haji tidak seragam dan tidak bisa diseragamkan, apalagi di daerah seperti Tatar Sunda di mana pakaian khas haji kadang justru menyerupai jas Eropa.

Senada dengan Holle, Snouck Hurgronje, orientalis ternama Belanda, juga mengkritik keras kebijakan kolonial tersebut. Ia menganggap penyematan gelar dan penggunaan pakaian haji seharusnya tidak perlu diatur secara ketat. Bahkan, ia mengusulkan agar pemakaian gelar dan pakaian haji dibiarkan bebas agar kehilangan kesakralannya dan tidak lagi dianggap istimewa.

Namun demikian, pemerintah kolonial tetap mempertahankan kebijakan screening tersebut hingga akhirnya dihapus pada tahun 1902, seiring meningkatnya jumlah jamaah haji yang membuat proses verifikasi menjadi tidak praktis lagi.

Makna religius dan sosial

Gelar “Haji” dan “Hajjah” bukan sekadar gelar simbolik. Dari sisi religius, gelar ini menjadi pengakuan bahwa seseorang telah menyempurnakan rukun Islam kelima melalui ibadah haji. Ibadah ini bukan hanya seremonial, tetapi menuntut kesiapan fisik, mental, dan spiritual, dari ihram hingga tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah.

Dari segi sosial, gelar ini menciptakan bentuk penghormatan dalam struktur masyarakat. Mereka yang menyandang gelar “Haji” atau “Hajjah” kerap dipandang lebih religius, bijak, dan berpengalaman secara spiritual, walaupun tidak ada jaminannya. Penyematan gelar ini juga menjadi sumber motivasi bagi umat Islam lainnya untuk menunaikan ibadah haji, memperkuat semangat keagamaan di tengah masyarakat.

Simbol perjalanan dan identitas

Di Indonesia, gelar “Haji” telah melekat dalam identitas sosial keagamaan masyarakat Muslim. Dari sejarah panjangnya, mulai dari perjuangan berat di masa lalu, pengakuan sosial yang menyertainya, hingga regulasi ketat pada masa kolonial, gelar ini tetap bertahan dan bahkan berkembang menjadi simbol keberhasilan dan kehormatan.

Meski pada masa kini perjalanan haji relatif lebih mudah berkat kemajuan transportasi dan sistem administrasi, nilai dan makna dari gelar ini tetap tidak berubah. Ia mencerminkan ketekunan spiritual, komitmen religius, serta penghargaan sosial yang terus hidup dalam budaya umat Islam Indonesia, demikian mengutip BPKH dan NU.

Tinggalkan Balasan

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini

Lainnya

Ⓒ Hak cipta foto di atas dikembalikan sesungguhnya kepada pemilik foto
Ukraina Tembak Jatuh Jet Tempur Su-30 Rusia Pakai Drone
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan sambutan saat Peresmian Terminal Khusus Haji dan Umrah 2F Bandara Internasional Soekarno-Hatta, pada Minggu, 4 Mei 2025. (Foto: BPMI Setpres)
Presiden Prabowo menyampaikan ucapan selamat kepada Anthony Albanese atas keberhasilan dan terpilihnya kembali menjadi Perdana Menteri Australia melalui sambungan telepon pada Minggu siang, 4 Mei 2025. (Foto: Istimewa)
Kalender Hijriah
alai Ikrar Lamteh, di Gampong Lamteh, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar, sebuah situs bersejarah yang memiliki nilai tinggi dalam perjalanan bangsa
Sebelum Aku dan Kamu Jadi Kita: Kenali Manfaat Surat Perjanjian Pranikah
Presiden Prabowo Subianto saat melepas jamaah haji Indonesia di Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten, Ahad (4/5)
Ilustrasi Foto (MCH Kemenag)
Aceh mendapatkan kuota jamaah haji 4.378 orang yang akan diberangkatkan ke Tanah Suci, Arab Saudi tahun 2025 Masehi/1446 Hijriah
Mengenal sosok Ciro Alves, salah satu kunci sukses Persib
Carlo Ancelotti Sang Profesor Sepak Bola yang Menaklukkan Lima Liga Top Eropa
Ketua Umum PWI Pusat Hendry Ch Bangun
Ketua DPRK Banda Aceh Irwansyah ST terpilih menjadi Ketua Ikatan Alumni Arsitektur Universitas Syiah Kuala (IKAARS-USK) Periode 2025 - 2029.
Ketua DPD Patriot Bela Nusantara (PBN) Aceh, Drs Isa Alima
Bupati Aceh Besar Syech Muharram Idris menempelkan kartu Trans Koetaradja dalam acara peluncuran aplikasi Trans Koetaradja di Terminal Tipe A Batoh, Banda Aceh, Ahad (4/5)
Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal menempelkan kartu Trans Koetaradja dalam acara peluncuran aplikasi Trans Koetaradja di Terminal Tipe A Batoh, Band Aceh, Ahad (4/5)
Pada musim haji 1446 Hijriah tahun ini, Kantor Kementerian Agama Kota Banda Aceh memberangkatkan 559 jamaah haji
Wagub Aceh Fadhlullah didampingi istri Mukarramah bersilaturahmi dengan ulama kharismatik Aceh Abuya Amran Waly Al-Khalidy di Dayah Darul Ihsan Pawoh di Tepin Gajah Kecamatan Labuhan Haji Tengah Aceh Selatan, Sabtu (3/5)