Infoaceh.net

Portal Berita dan Informasi Aceh

Mengoreksi Ila’: Islam, Keadilan, dan Hak-Hak Perempuan dalam Rumah Tangga

Istilah toxic marriage merujuk pada suatu hubungan rumah tangga yang merusak secara mental, emosional, atau spiritual. Ciri-cirinya meliputi komunikasi yang penuh tekanan, pengabaian emosional, pengendalian yang berlebihan, pelecehan verbal, hingga kekerasan psikologis. Dalam banyak kasus, kekerasan semacam ini tidak terdeteksi secara hukum karena tidak meninggalkan bekas fisik.
Ilustrasi suami dan istri dalam sebuah pernikahan. (Foto: Freepik)

Oleh: Ahmad Hashif Ulwan*

Pernikahan dalam Islam merupakan ikatan suci yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang damai, penuh cinta, dan kasih sayang.

Tujuan utama dari pernikahan bukan hanya melanjutkan keturunan, melainkan juga membangun relasi sosial yang adil dan manusiawi antara suami dan istri.

Namun, tidak selamanya pernikahan berjalan ideal dan sesuai yang diharapkan. Dalam kenyataannya, banyak relasi pernikahan justru menjadi sumber penderitaan, terutama bagi perempuan.

Salah satu bentuk ketidakadilan dalam rumah tangga adalah ketika suami menyandera hak-hak istrinya dengan tidak menyentuhnya secara fisik, tetapi juga tidak menceraikannya, praktik ini dalam Fiqih dikenal sebagai ila’.

Dalam konteks hari ini, situasi serupa dapat ditemukan dalam relasi yang dikenal sebagai toxic marriage, yaitu pernikahan yang penuh tekanan, manipulasi, kekerasan emosional, dan relasi tidak sehat yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga kasih sayang dan rasa disayangi tidak didapatkan dalam hubungan rumah tangga.

Ila’ pada mulanya adalah kebiasaan orang-orang Jahiliyah, Sering kali para suami pada zaman Jahiliyah mengucapkan ila’ kepada istrinya dalam rangka menghukum istrinya.

Waktu yang ditetapkan oleh suami untuk tidak menggauli istrinya biasanya setahun atau lebih, sehingga keadaan istri terkatung-katung dalam keadaan sengsara. Ia tidak diceraikan oleh suaminya dan pada saat yang sama juga tidak mendapat haknya secara penuh sebagai istri.

Setelah Islam datang, ketetapan ila’ diubah dan diposisikan sebagai sumpah dengan tempo paling lama empat bulan.

Jika seorang suami kembali lagi kepada istrinya sebelum tempo empat bulan maka ia dianggap melanggar sumpah dan wajib membayar kafarat (denda) sumpah, selama sumpahnya menggunakan nama atau sifat-sifat Allah.

Perubahan ketentuan dalam Islam ini sebagaimana termaktub dalam Al-Quran surat Al-Baqarah [2] ayat 226:

لِلَّذِيْنَ يُؤْلُوْنَ مِنْ نِّسَاۤىِٕهِمْ تَرَبُّصُ اَرْبَعَةِ اَشْهُرٍۚ فَاِنْ فَاۤءُوْ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Artinya: “Kepada orang-orang yang meng-ila istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”

Menurut jumhur ulama, hukum ila’ adalah haram karena terdapat unsur yang menyengsarakan istri dan menanggalkan kewajiban suami.

Pasalnya, dengan ila’ suami tidak menceraikan dan juga tidak mencampuri istrinya. Padahal, syariat sendiri telah mengajari rujuk dan cerai dengan cara yang patut. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 229:

فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍۗ

 Artinya: “(Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik.”

Mengenai ila’, Syekh Zakariya al-Anshari dalam Kitab Fathul Wahab menjelaskan:

 هُوَ لُغَةً الْحَلِفُ وَكَانَ طَلَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَغَيَّرَ الشَّرْعُ حُكْمَهُ وَخَصَّهُ بِمَا في آية: {لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ}  فَهُوَ شَرْعًا حَلِفُ زَوْجٍ عَلَى الِامْتِنَاعِ مِنْ وَطْءِ زَوْجَتِهِ مُطْلَقًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ وَهُوَ حَرَامٌ لِلْإِيذَاءِ

Artinya, “Secara bahasa, ila’ adalah sumpah. Ia merupakan talak pada zaman Jahiliyah. Lantas, syariat mengubah dan mengkhususkan hukumnya melalui ayat, ‘Kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya…’ Secara syariat, ila’ adalah sumpah seorang suami untuk menghalangi dirinya dari menjimak istrinya secara mutlak atau lebih dari tempo empat bulan. Hukumnya adalah haram karena menyakiti istri,” (Syekh Zakariya al-Anshari, Fathul Wahab, [Beirut, Darul Fikr: 1997], juz II, halaman 109).

Dari sini kita dapat melihat bahwa pada hakikatnya, Islam sedang berusaha untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, perbaikan konsep Ila’ dari yang sebelumnya merupakan tradisi buruk Jahiliyah, berusaha dikoreksi oleh Islam, sehingga hal tersebut terasa lebih manusiawi dan tidak berlarut-larut menyiksa kondisi psikologis sang Istri.

Jika ila’ dalam praktiknya menimbulkan penderitaan, mengancam keselamatan jiwa atau mental istri, maka hal tersebut dapat dihitung sebagai prilaku toxic marriage, dengan tidak memenuhi kewajibannya sebagai suami dan tidak memenuhi hak sang istri, hal tersebut memperkeruh keadaan rumah tangga yang pada hakikatnya berusaha untuk mencapai kerukunan, kasih sayang, dan rasa saling mencintai.

Istilah toxic marriage merujuk pada suatu hubungan rumah tangga yang merusak secara mental, emosional, atau spiritual. Ciri-cirinya meliputi komunikasi yang penuh tekanan, pengabaian emosional, pengendalian yang berlebihan, pelecehan verbal, hingga kekerasan psikologis. Dalam banyak kasus, kekerasan semacam ini tidak terdeteksi secara hukum karena tidak meninggalkan bekas fisik.

Kekerasan emosional dalam pernikahan tidak hanya menyiksa secara psikologis, tetapi juga melanggar prinsip dasar dalam Islam untuk hidup bersama secara ma’ruf (baik). Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa [4] ayat 19, Allah berfirman:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۚ

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri kalian) secara baik (ma’ruf).”

Relasi yang toxic sering kali menyandera perempuan dalam hubungan yang tidak sehat tanpa jalan keluar.

Dalam konteks ini, praktik ila’ dapat dikategorikan sebagai bagian dari kekerasan emosional bila dilakukan untuk menyengsarakan satu pihak atau hukuman tanpa alasan syar’i yang jelas.

Fiqih pernikahan bukan sekadar kumpulan hukum tekstual, tetapi harus dibaca sebagai instrumen keadilan yang hidup dan relevan dalam setiap zaman.

Praktik ila’ yang dahulu dipandang sebagai solusi justru dapat menjadi alat kekerasan emosional di era kini.

Sebagai seorang muslim yang baik, kita dituntut untuk memperbarui cara pandang dan praktik hukum Islam agar benar-benar menjadi rahmat dan perlindungan, terutama bagi mereka yang rentan seperti perempuan dalam relasi rumah tangga.

Dalam Islam, kedudukan perempuan tidak hanya dijamin hak-haknya sebagai individu, tetapi juga dihormati sebagai ibu, istri, anak, dan anggota masyarakat.

Nabi Muhammad ﷺ sendiri berulang kali menekankan pentingnya memperlakukan perempuan dengan penuh kasih dan hormat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

خيركم خيركم لنسائه، وأنا خيركم لنسائي

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istrinya, dan aku adalah yang paling baik kepada istriku.” (HR. Ibnu Majah)

Bahkan dalam khutbah perpisahan beliau di Haji Wada’, Rasulullah secara khusus berpesan tentang hak-hak perempuan, beliau bersabda:

اِتَّقُوا اللهَ فِـي النِّسَـاءِ، فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَـانَةِ اللهِ، وَاسْـتَحْلَلْتُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ، وَلَهُنَّ عَلَيْكُـمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Artinya: “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Muslim)

Semangat ini menunjukkan bahwa Islam sejatinya adalah agama yang menjunjung tinggi perlindungan, penghormatan, dan keadilan bagi perempuan.

Oleh karena itu, setiap bentuk praktik atau interpretasi hukum yang menyebabkan perempuan mengalami ketidakadilan, penelantaran, atau kekerasan emosional seperti dalam kasus ila’ yang disalahgunakan bertentangan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam itu sendiri untuk meninggikan kehormatan perempuan dan membangun keluarga yang diliputi oleh perasaan yang sakinah dan dipenuhi mawaddah.

Secara hukum pernikahan Islam, ila’ sebenarnya bukanlah bagian dari talak, sehingga seorang suami yang menjatuhkan ila’ kepada istrinya tidak serta merta memisahkan hubungan pernikahan keduanya, namun hal tersebut juga bisa berujung pada talak, sebab Dalam tempo waktu empat bulan ila’ ini, sang suami diberi kesempatan.

Apakah ia akan kembali kepada istrinya dan membayar kafarat, atau menalak istrinya.

Wallahu a’lam

Penulis : Mahasiswa Pascasarjana Universitas Az-Zaitunah Tunisia.

 

Sumber : Nu Online

Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Lainnya

Plt Sekda Aceh M Nasir Syamaun saat membuka pelatihan kepemimpinan administrator di lingkungan Pemerintah aceh tahun 2025 di Aula BPSDM Aceh, Senin (7/7). (Foto: Ist)
UIN Ar-Raniry Banda Aceh meluncurkan "Kampung Inggris" di Kota Sabang, Senin (7/7/2025). (Foto: Ist)
Pihak manajemen RSUD Sabang masih tetap membagikan paket makanan ringan (snack) kepada tenaga medis yang bertugas malam. (Foto: Ist)
Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah menghadiri Duek Pakat Nasional Tata Kelola Dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) di Balai Sidang Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK, Senin (7/7/2025). (Foto: Ist)
Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil
Ketua DPRK Banda Aceh, Irwansyah ST menutup pelatihan Karang Taruna Gampong Punge Blang Cut, Kecamatan Jaya Baru, Banda Aceh, Ahad sore (6/7) di Pantai Cermin Ulee Lheue. (Foto: Ist)
Realisasi pendapatan RSUD Kota Sabang hingga akhir Juni 2025 tercatat sebesar Rp5.989.711.867 atau 26,20 persen. (Foto: Ist)
Kakak-beradik asal Pidie Al Afdhalul Muktabarullah (24) dan Munadhilatul Asyi (21) yang baru saja pulang dari Tanah Suci merasakan nikmatnya berhaji di usia muda. (Foto: Ist)
Wakil Menteri Pertahanan RI Donny Ermawan
Menteri Pertanian RI, Andi Amran Sulaiman, dalam jumpa pers usai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Menteri Pertanian Palestina, Rezq Basheer-Salimia, di Jakarta, Senin (7/7/2025).
Ilustrasi Ekspor-Impor
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto disambut langsung oleh Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva
Tasawuf dan Geopolitik: Kekuatan Sunyi yang Terlupakan
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya)
Kepala BPKD Kota Sabang Jufriadi
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKB, Abdullah, menyatakan keprihatinan sekaligus kemarahan mendalam atas kematian Brigadir Muhammad Nurhadi
Pohon yang menyerupai pohon Jeju di Jalan Meureubo, Kopelma Darussalam (tepatnya di samping Lapangan Gelanggang USK). (Foto: Washata.com)
Anoa merupakan satwa dilindungi berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990 dan Permen LHK No. P.106 Tahun 2018
Pemain PSG, Ousmane Dembele rayakan gol ke gawang Bayern Munich
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS ke-17 yang digelar di Museum Seni Modern (MAM), Rio de Janeiro, Minggu (6/7/2025).
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Enable Notifications OK No thanks