Menunaikan Zakat Sebagai Bentuk Syukur Nikmat Harta
“Semakin tinggi derajat seseorang di sisi Allah, semakin besar pula rasa cintanya kepada-Nya. Orang yang mencintai Allah akan rela mengorbankan sesuatu yang dicintainya, termasuk harta, demi mendekatkan diri kepada-Nya,” ujarnya.
Kedua, menyucikan diri dari sifat kikir. Hakikat zakat sebagai sarana penyucian diri dari sifat buruk, terutama kikir atau pelit. Imam Al-Ghazali menjelaskan, kecintaan berlebihan terhadap harta dapat diatasi dengan membiasakan diri berbagi, hingga akhirnya memberi menjadi kebiasaan yang menenangkan jiwa.
Allah berfirman: “Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai; pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 261)
“Dengan kata lain, zakat tidak akan mengurangi harta, justru akan semakin memberkahi kehidupan kita,” tegas Ustaz Mizaj.
Ketiga, zakat bentuk syukur atas nikmat Allah. Dalam hal ini, zakat merupakan wujud syukur atas nikmat yang Allah berikan. Allah telah memberikan kita berbagai kenikmatan, baik berupa kesehatan maupun harta benda.
Jika kesehatan disyukuri dengan ibadah fisik seperti shalat dan puasa, maka harta disyukuri dengan ibadah maliyyah seperti zakat, infak dan sedekah.
Imam Al-Ghazali menekankan, zakat bentuk kepedulian dan kasih sayang terhadap sesama muslim, khususnya mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Thabrani)
Ustaz Mizaj menegaskan, dari tiga hakikat zakat ini, kita belajar bahwa ibadah ini merupakan kewajiban, sekaligus memiliki nilai luhur yang perlu kita resapi.
Ketika kita menunaikan zakat dengan penuh kesadaran, kita akan merasakan manisnya ibadah. Dengan begitu, kita tidak hanya menggugurkan kewajiban, tetapi juga semakin mendekatkan diri kepada Allah (Sayed M. Husen)