Puasa dan Ibadah Sosial
Hadis Qudsi di atas menunjukkan keistimewaan ibadah berpuasa bila dibandingkan dengan amalan ibadah lainnya. Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah SWT yang sedang melaksanakan ibadah puasa tanpa diketahui oleh orang lain. Makanya, di sini pula letak kesalehan individu seorang hamba dengan Tuhannya.
Walaupun demikian, dari amal ibadah puasa ini juga terdapat dimensi kemanusiaan, yaitu menjalin hubungan yang baik antara seorang manusia dengan manusia yang lain atau bahasa lainnya adalah kesalehan sosial. Di antara dimensi kemanusiaan yang terdapat dalam amalan ibadah berpuasa adalah tumbuhnya rasa peka terhadap orang-orang lemah secara ekonomi. Di saat seseorang yang menjalani ibadah puasa, ia merasakan kelaparan dan dahaga, meskipun di sisinya terdapat makanan dan minuman. Dengan demikian, akan timbul rasa keikutsertaan dalam kelaparan dan kedahagaan sebagaimana yang dirasakan oleh kaum fakir dan miskin selama ini. Keikutsertaan dalam kelaparan dan kedahagaan meskipun satu bulan, akan menumbuhkan kesadaran manusia untuk berbagi rezekinya kepada orang-orang lemah yang tidak mampu memperoleh rezeki Allah karena keterbatasannya. Oleh karena itu, seorang yang melakukan ibadah puasa akan merasa iba kepada fakir dan miskin, sehingga ia akan termotivasi untuk senantiasa menyisihkan rezeki yang ia peroleh kepada mereka yang lemah secara ekonomi. Hal tersebut karena ia sudah pernah merasakan bagaimana sengsaranya menahan rasa lapar dan dahaga, meskipun hanya sebulan dan itu pun terhitung dari waktu subuh hingga tibanya waktu magrib di setiap harinya.
Selain tumbuhnya rasa peka terhadap orang-orang lemah, dimensi kesalehan sosial yang kedua dalam ibadah berpuasa adalah menumbuhkan rasa kejujuran dalam hati seseorang. Kejujuran ini diperoleh dari sifat ibadah puasa itu sendiri yang tidak memiliki tanda, simbol atau gerakan, sehingga tidak seorang pun yang tahu, kecuali Allah SWT. Nurcholish Madjid dalam sebuah bukunya berjudul “Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi” mengatakan bahwa ibadah berpuasa dapat mendidik seseorang untuk berlaku jujur dan tidak melakukan korupsi. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa Allah pasti melihat dan mengetahui dirinya jikalau makan dan minum di dalam kamar, maka demikian juga ia akan meyakini bahwa Allah akan melihat dan mengetahui kalau dirinya mencuri uang rakyat atau menyalahgunakan kekuasaan, meskipun secara hukum manusia ia bisa terlepas. Menurut Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), keimanan seseorang yang berpuasa harus dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari meskipun ia sedang berada di kantor atau di tempat pekerjaan yang lain. Karena Allah pasti bisa melihat dan mengetahui apa yang tidak bisa dilihat dan diketahui oleh manusia lain, maka ia akan takut untuk berbuat kejahatan meskipun tidak ada orang yang tahu.