Oleh: Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LL.M*
Pada bagian kedua dari surat al-Fātiḥah, Allah memperkenalkan dirinya sebagai rabbul ‘ālamīn (Pencipta Semesta Alam). Dalam bahasa Arab kata rabb seakar kata dengan tarbiyah yang dimaknakan sebagai pendidikan dalam bahasa Indonesia. Sedangakan pendidik dalam bahasa Arab disebut murabbī.
Pendidik tidak saja bertugas mengasuh anak didiknya sedari awal, tetapi ia juga bertanggungjawab menjaga dan mengembangkan anak didikannya sehingga ia melebur menjadi manusia paripurna (insān kāmil). Ibarat petani menanam padi, tugasnya belum selesai dengan menyemai benih ke dalam tanah.
Karena peminat padi tidak saja manusia, hama juga berminat pada padi. Maka petani kemudian wajib menjaga tanamannya hingga tumbuh berkembang sehingga siap untuk dipanen.
Dalam Islam, tugas Allah sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta terakumulasi dalam kata rabb atau murabbī.
Kesatuan fungsi ketuhanan ini dalam ajaran Hindu dikenal dengan trimurti. Suatu konsep pembagian kuasa rabb ke dalam tiga kekuatan dewa. Brahma bertugas sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Siwa sebagai pelebur.
Dalam Islam, konsep trimurti dilebur dalam konsep tauhid (keesaan Tuhan dalam setiap aspek tindakan-Nya).
Menurut teolog sunni (ahl al-kalām). Alam semesta ini ḥādits. Dalam pengertian teologis, ḥādits adalah segala sesuatu yang terjadi dalam waktu, sesuatu yang temporal, yang memiliki tempo.
Segala sesuatu yang terjadi dalam waktu memiliki watak khas; ada permulaan ada akhir. Start and finish adalah ciri-ciri sesuatu yang temporal. Salah satu premis yang dikemukakan ahli ilmu kalam adalah “kullu ‘ālamīn ḥāditsun” (seluruh alam raya temporal).
Ini berarti alam raya bermula di titik waktu tertentu di masa lampau dan akan berakhir di titik tertentu pula di masa depan.
Penjelasan di atas setali tiga uang dengan ilmu astronomi modern. Ilmu astronomi menengarai permulaan munculnya alam raya dengan momen singularitas yang disebut big bang (ledakan besar). Secara empiris penemuan ini terbukti pada tahun 1927 dengan teleskop Edwin Hubble.
Penemuan ini sekaligus mematahkan pandangan Ibn Rusyd dalam Tahāfutul Tahāfut (incoherence of incoherence) yang mendukung ide para filosof Yunani tentang qidam al-‘ālam (alam raya yang abadi di masa lampau, tidak bermula pada satu titik waktu). Konsekuensi qidam-nya Alam adalah kekal abadinya Alam semesta (baqā’).
Sebaliknya pandangan al-Ghazālī dalam Tahāfutul Falāsifah (incoherence of philosophers) sebagai lawan debat Ibn Rusyd terbukti benar. Alam raya adalah ḥādits, bermula dalam waktu (temporally created).
Perdebatan antara dua ulama beda generasi (al-Ghazālī w. 1111 dan Ibn Rusyd w.1198 M) terjadi saat al-Ghazālī berusaha menangkal argumentasi filsafat dalam menjelaskan hubungan tuhan dengan alam semesta.
Untuk tujuan ini, al-Ghazālī mengarang kitab Tahāfutul Falāsifah yang berisi enam belas argumentasi kekeliruan filsafat dalam menjelaskan korelasi antara tuhan dan alam semesta.
Namun tiga diantaranya yang terpenting adalah: Pertama, kaum filosof mengatakan bahwa alam adalah eternal (azalī). Tidak berawal (qidam), konsekuensi mengatakan alam semesta qidam adalah kekalnya alam semesta.
Sehingga mengimplikasikan ada dualisme tuhan; Allah dan alam semesta (universe). Kedua, karena menolak kebangkitan jasmani, berarti kaum filosof meremehkan kemahakuasaan Allah.
Padahal terdapat banyak sekali ayat al-Qur’an yang menegaskan kemungkinan kebangkitan raga manusia. Seperti diterangkan Allah dalam Surat Yāsin ayat 79.
Ketiga, kaum filosof berpendapat Allah tidak mengetahui hal-hal partikular. Pandangan ini, kata al-Ghazālī, menentang kemahatahuan Allah. Dalam Surat al-An‘ām ayat 59 Allah menegaskan mulai dedaunan yang jatuh dari pohon sampai kerikil hitam, di atas batu hitam dan dalam kepekatan malam pasti diketahui Allah “wa mā tasquṭu min waraqatin illā ya‘lamuhā wa lā ḥabbatin fī ẓulumātil arḍi wa lā raṭbin wa lā yābisin illā fī kitābin mubīn.
Lima belas tahun setelah wafatnya al-Ghazālī, lahir seorang filosof Islam yang bernama Ibn Rusyd (Averroes). Ia berusaha membela para filosof yang dikritik al-Ghazālī dengan menulis kitab Tahāfutul Tahāfut.
Sebenarnya al-Ghazālī tidaklah total anti filsafat, yang pada waktu itu merupakan “induk pengetahuan” dalam pengertian mencangkup metafisik dan fisik. Itulah mengapa karyanya itu tidak dinamakan dengan Tahāfutul Falsafah (Inkohensi Filsafat), tetapi ia menamakan karyanya Tahāfutul Falāsifah (Inkoherinsi Filosof).
Yang rancu, bagi al-Ghazālī, bukanlah filsafat tetapi kaum filosof (falāsifah), dalam hal ini yang ia maksudkan dengan kaum filosof adalah al-Farabī dan Ibn Sinā. Penekanan al-Ghazālī sebenarnya adalah umat Islam tidak boleh menggantikan metafisika al-Qur’an dan Sunnah dengan metafisika Yunani. Wahyu monotisme tidak boleh ditukar dengan mitos politeis.
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry