Oleh: Ustadz Dr. H. Mizaj Iskandar Usman, Lc LLM*
Dalam suatu percakapan di meja warung kopi, seorang sejawat dengan emosi meletup-letup memaki, mengutuk dan melaknat seorang non muslim penista agama. Mendengar sumpah serapah itu, teman-teman yang lain menyanggah, “Hei, jangan lah sekasar itu. Bukannya mengutuk dan memvonis seseorang itu haknya Allah”.
Teman yang murka itu sejurus kemudian menjawab, “Allah saja di dalam al-Qur’an mengutuk mereka yang merendahkan diri-Nya, bukannya kita diperintahkan untuk bersikap seperti sikapnya Tuhan”, sembari mengutip firman Allah pada Surat Al-Maidah ayat 64.
Dialog imajiner di atas sering ditemukan dalam percakapan sehari-hari dalam ruang publik. Sebagai orang awam kita sering dibuat pusing dengan perdebatan semacam ini. Namun jika kita merujuk pada surat Al-Fātiḥah ayat 4, tersirat Allah memang satu-satunya yang memiliki otoritas untuk menghakimi manusia. Itu pun di hari kiamat bukan di dunia. Kesimpulan semacam ini terlihat jelas jika kita mencermati penggalan kata demi kata pada ayat keempat surat Al-Fātiḥah.
Secara harfiah, kata “mālik” bermakna penguasa atau pemilik. Sedangkan kata “yaum” berarti hari dan kata “al-dīn” bisa bermakna agama, hisab atau pembalasan. Penggunaan kata “al-dīn” seperti makna terakhir juga dapat dilihat pada hadits, “kamā tadīnu tudānu (sebagaimana perbuatanmu, seperti itu lah balasan yang kamu peroleh).
Bertitik tolak dari pemahaman semantik ini, lahir semacam pemahaman bahwa sejatinya pengadilan terhadap keyakinan seseorang hanya berlaku di akhirat dan bukan di dunia. Meskipun di dunia manusia telah mengembangkan seperangkat ilmu pengetahuan seperti ilmu kalam untuk mengukur “kadar” keyakinan seseorang.
Namun ilmu tersebut hanya mengantar manusia pada taraf ‘ilmul yaqīn (keyakinan berbasis pengetahuan) dan bukan pada level haqqul yaqīn (keyakinan sejati).
Oleh karena itu, pengadilan terhadap keyakinan seseorang tidak dilangsungkan di dunia dan tidak dilakukan oleh sesama manusia. Tetapi dilakukan di akhirat oleh Allah Penguasa hari pembalasan.
Dalam konteks ini, Tafsir Jalālain menjelaskan kenapa kuasa Allah secara spesifik disebutkan di hari kiamat, “wa khuṣṣa bil dzikri li’annahu lā mulka ẓāhirān fīhi li aḥadin illā al-Allāh ta‘ālā bidalīlin, limanil mulkul yaum?, qāla, lillah” (dan kekuasaan Allah secara khusus disebut di akhirat dikarenakan pada hari itu tiada yang berkuasa melainkan Allah sebagiamana yang dijelaskan dalam dialog antara Allah dengan manusia dalam surat Al-Ghāfir ayat 16, “siapakah yang berkuasa hari ini? Manusia menjawab, Allah).
Ibnu Katsir dalam Tafsīr al-Qur’ānil ‘Aẓīm juga menjelaskan hal yang sama. Menurutnya frasa “māliki yaumiddīn” tidak menafikan kekuasaan Allah di dunia. Karena Allah telah mengawalinya dengan frasa “rabbil ‘ālamīn” pada ayat kedua surat Al-Fātiḥah. Frasa ini menegaskan Allah sebagai Penguasa alam semesta di dunia dan akhirat.
Penjelasan di atas dipertegas lagi dengan firman Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 58 “wa rabbuka al-ghafūr dzū al-raḥmah, law yu’akhidzuhum bimā kasabū la‘ajjala lahumul ‘azāb, bal lahum maw‘idun lan yajidū mindunihi maw‘ilā (Dan Tuhanmulah Maha Pengampun dan Pemangku Rahmat, jika Allah hendak mengazab seseorang karena perbuatannya, tentu Allah akan menyegerakan azab untuk orang tersebut di dunia. Tetapi Allah menanguhkan azab bagi mereka sampai tibanya hari kiamat).
Sultanya para ulama, Syaikh ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām menjelaskan dalam kitabnya Syajaratul Ma‘ārif bahwa meskipun terdapat anjuran dalam hadis untuk berkarakter yang sama dengan karakternya Allah (takhalaqū bi akhlāqillāh), namun terdapat sifat-sifat Allah tertentu yang mustahil atau bahkan terlarang disandang oleh manusia.
Seperti sifat qidām (tak berawal), baqā’ (kekal), kibr (angkuh) dan lain sebagainya. Hal ini menjelaskan kepada kita mengapa Nabi ditegur Allah saat mengutuk orang-orang yang memeranginya.
Diceritakan dalam Sunan al-Tirmidzī, saat berakhirnya perang Uhud. Keadaan Nabi sangat mengenaskan. Anas bin Mālik, sahabat yang ikut serta dalam barisan perang Uhud, mengilustrasikan bagaimana keadaan Nabi saat itu dengan berkata “rahang mukanya retak (syujja fī wajhihi), pelipisnya terluka (kusirat rabā‘iyyatuhu) dan bahunya terkena panah (wa rumiya ramyatan ‘alā katifi). Sembari mengusap wajahnya yang berlumur darah Nabi berkata, “kaifa tuflihu ummatun fa‘alū hadzā bi nabiyyihim wa huwa yad‘ūhum ilā Allāh (Bagaimana mungkin suatu kaum akan beruntung sedang mereka memperlakukan Nabi mereka seperti ini, padahal ia menyeru mereka ke jalan Allah).
Ternyata keluhan bernada kutukan Nabi itu membuat Allah kurang senang. Sehingga Allah menegur Nabi dengan menurunkan surat Āli ‘Imrān ayat 128 yang berbunyi “laisa laka minal amri syai’un aw yatuba ‘alaihim aw yu‘adzibuhum fainnahum ẓālimūn (Sama sekali bukan urusanmu Muhammad mengutuk atau melaknat mereka, hak Allah lah untuk menerima taubat atau mengazab mereka dikarenakan kedzaliman yang mereka perbuat). Teguran Allah itu sangat membekas dalam diri Nabi.
Pada suatu waktu Nabi diminta para sahabat untuk melaknat seseorang yang telah merendahkan diri Nabi. Nabi menjawab permintaan itu dengan berkata “innī lam ub‘atsu la‘ānan wa lā sabbābān, wa innamā bu‘itstu raḥmatan (Saya tidak diutus untuk mengutuk atau memaki manusia, sesungguhnya saya diutus untuk menjadi rahmat).
*Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry