Tausiyah Gus Baha di Bulan Muharram: Membersihkan Hati, Meneguhkan Ilmu
Banda Aceh, Infoaceh.net – Bulan Muharram menjadi momentum penting bagi umat Islam untuk memperkuat spiritualitas, memperdalam ilmu agama, dan menata ulang arah hidup.
Hal ini juga menjadi kebiasaan rutin ulama kharismatik asal Rembang, KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha.
Pengasuh LP3iA (Lembaga Pembinaan Pendidikan dan Pengembangan Ilmu Al-Qur’an) itu dikenal memiliki tradisi khas dalam menyambut Muharram dan hari Asyura. Bukan dengan aktivitas mistik, tetapi dengan amalan ilmu dan pendekatan spiritual berbasis ilmu syar’i.
Dalam rutinitas ngaji Tafsir Jalalain Surat Al-Qiyamah ayat 20–40 di kediamannya di Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Rembang, Gus Baha mengisahkan kebiasaannya ber-i’tikaf di tempat-tempat bersejarah, berkumpul dengan orang-orang alim, khataman Al-Qur’an, hingga bersilaturahmi dengan sahabat-sahabat ayahandanya, KH Nursalim.
“Saya itu i’tikaf bukan cari keris. Tapi jangan ditiru, nanti malah utang ke orang untuk biayanya,” ujarnya sembari tertawa ringan, seperti disampaikan dalam tayangan YouTube Official LP3iA.
Isi Muharram dengan Majelis Ilmu, Bukan Ritual Kosong
Bagi Gus Baha, Muharram semestinya diisi dengan aktivitas yang mendekatkan diri kepada Allah, terutama yang bernilai edukatif dan reflektif. Ia mendorong masyarakat untuk memanfaatkan bulan suci ini dengan mengaji, dzikir, serta menuntut ilmu keagamaan secara mendalam.
“Muharram itu jangan cuma cuci keris, otaknya juga harus dicuci, diberi ilmu,” tegasnya.
Pesan Gus Baha ini senada dengan hadits Nabi Muhammad ﷺ yang menyebutkan bahwa dunia ini terkutuk kecuali dzikir kepada Allah, orang alim, dan mereka yang menuntut ilmu.
Ia mengingatkan bahwa majelis ilmu adalah bentuk terbaik dalam memuliakan waktu-waktu yang juga dimuliakan Allah, termasuk bulan Muharram.
Antara I’tikaf, Ilmu, dan Keikhlasan
Gus Baha menjelaskan, i’tikaf adalah bentuk penghambaan yang bersifat menyeluruh. Bukan sekadar berdiam diri di masjid, tapi juga mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah: membaca Al-Qur’an, bermuhasabah, mendengarkan nasihat ulama, hingga berdzikir dan mengingat hari akhir.
“Saya ngaji Qur’an, Tafsir Jalalain, Hadits Shahih Muslim… pokoknya otak itu perlu makan juga, biar hidup kita terarah,” tuturnya.
Meski dikenal nyentrik dan kadang menyelipkan humor, Gus Baha tetap menjunjung tinggi prinsip tauhid dalam memahami benda-benda simbolik seperti keris.
Ia mengaku memiliki beberapa keris, tapi meyakini sepenuhnya bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa atas segala sesuatu.
“Saya punya keris banyak. Minta boleh, dikabulkan atau tidak itu lain soal. Ini bahasa mantiq,” katanya berseloroh.
Tradisi dan Spiritualitas Tanpa Mistik Berlebihan
Gus Baha menyentil kebiasaan sebagian masyarakat yang lebih tertarik pada hal-hal magis saat Muharram, seperti ritual pencucian pusaka atau mencari jimat. Ia tidak melarang tradisi selama tidak menyimpang dari akidah, tapi menekankan pentingnya mendahulukan akal, ilmu, dan keikhlasan dalam beragama.
“Kalau mau bersihkan keris, silakan. Tapi jangan lupa bersihkan otak juga. Jangan-jangan jimat kita lebih suci daripada hati dan pikiran kita,” pungkasnya.
Dengan gaya khasnya yang tenang, dalam, dan diselingi tawa, Gus Baha menyampaikan pesan yang menggugah: bahwa bulan-bulan suci seperti Muharram seharusnya dijadikan jalan pulang menuju ilmu, akhlak, dan kesadaran ilahiah.