Bukan Cuma Menjilat tapi Menghina Tuhan
Dedy Nur: “Itu Kiasan, Bukan Wahyu”
Menanggapi kritik deras yang mengalir, Dedy Nur akhirnya memberikan klarifikasi panjang. Ia menegaskan bahwa istilah “nabi” yang digunakannya bersifat simbolik, bukan merujuk pada definisi literal sebagaimana dalam ajaran agama.
Mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Dedy menjelaskan bahwa “nabi” secara harfiah berarti “orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk disampaikan kepada umat manusia”. Namun, ia menyatakan bahwa dalam tradisi filsafat dan sastra, kata tersebut sering digunakan secara metaforis.
“Socrates disebut nabi akal budi, Marx nabi revolusi kelas, Gandhi nabi tanpa senjata. Tidak berarti mereka mendengar wahyu dari Tuhan,” ujar Dedy.
Menurutnya, Jokowi layak disebut memiliki sifat kenabian karena membela rakyat, mengedepankan kesederhanaan, dan membawa pesan moral. Dedy pun menepis anggapan bahwa satu ide harus didukung banyak orang untuk sah disebut pemikiran.
“Banyak ide besar justru lahir dari satu orang. Gandhi dan Mandela dulunya juga dianggap gila.”
Kontroversi yang Terus Bergulir
Meski telah memberikan klarifikasi, gelombang kritik belum mereda. Sejumlah pihak masih menilai bahwa penyebutan “nabi” bahkan secara simbolik tetap berbahaya dan berpotensi menyinggung keyakinan umat beragama.
Dedy sendiri dikenal sebagai loyalis Jokowi. Dalam berbagai kesempatan di media sosial, ia kerap membela Jokowi dan keluarganya, termasuk di tengah kritik tajam terhadap dinasti politik yang muncul usai masa jabatan Jokowi berakhir.
Pernyataan Dedy kini menjadi topik panas di ruang publik digital dan memicu perdebatan lebih luas: sejauh mana kebebasan berpendapat dapat dibenarkan ketika menyangkut simbol-simbol suci keagamaan?***