Infoaceh.net, BANDA ACEH — Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh diminta tidak melakukan pembayaran pengadaan alat peraga dan praktik sekolah mobiler tahun 2019.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian mengatakan, berdasarkan analisis dokumen, pengadaan alat peraga dan praktik sekolah (mobile/meubelair) Tahun 2019 yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Aceh pada saat itu, diduga sarat masalah.
Pengadaan tersebut diketahui bersumber dari APBA Perubahan 2019 dan dilaksanakan empat penyedia, yaitu PT. Astra Graphia Xprins Indonesia, PT. Karya Mitra Seraya, PT. Apsara Tiyasa Sambada, dan PT. Tri Kreasindo Mandiri Sentosa.
“Kami saat itu sudah pernah mengingatkan Pemerintah Aceh, paket tersebut tidak bisa dibayar sebelum ada audit atas pengadaan tersebut mengingat paket tersebut ada akibat terjadi konflik kepentingan di level gubernur saat itu,” ujar Alfian, dalam keterangannya, Ahad (5/1/2025).
Kemudian pada tahun 2020, Kadis Pendidikan Aceh saat itu Rachmat Fitri, mengajukan permohonan kepada Sekda Aceh terkait tunggakan pembayaran pekerjaan pengadaan yang jumlahnya mencapai Rp 95.347.907.960.
Saat itu, Kadis Pendidikan meminta tunggakan tersebut segera dibayarkan, kemungkinan kuat Kadis Pendidikan mendapat tekanan dari gubernur saat itu.
Fakta lainnya, tambah Alfian, berdasarkan Pergub Nomor 38 Tahun 2020 yang mengatur perubahan atas Peraturan Gubernur Aceh Nomor 80 Tahun 2019 tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh Tahun 2020 (refocusing), terdapat peningkatan signifikan pada belanja modal untuk pengadaan alat peraga atau praktik sekolah.
Dalam APBA 2020 semula hanya dialokasikan Rp 1,2 miliar, namun pada penjabaran APBA Perubahan 2020 jumlahnya meningkat menjadi Rp 103,7 miliar. Penambahan anggaran ini diduga kuat akan digunakan untuk membayar paket pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu. Namun saat itu tunggakan ini batal dibayarkan.
Selanjutnya berdasarkan surat permohonan pembayaran dari PT Tri Kreasindo Mandiri Sentosa kepada Kadis Pendidikan Aceh, tertanggal 21 Juni 2024, dengan Nomor 0001/SPPP/TMS/II/2024.
Dalam surat itu, PT. Tri Kreasindo Mandiri Sentosa mengklaim telah menyelesaikan beberapa paket pekerjaan. Total nilai kontrak dari seluruh paket pekerjaan tersebut mencapai Rp 33.789.498.000, namun pembayaran belum dilakukan hingga akhir 2019, di antaranya, (1) Pengadaan alat media publikasi dan sosialisasi informasi digital SMA, (2) Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMA, (3) Pengadaan alat media pembelajaran multimedia interaktif SMK dan (4) Pengadaan server UNBK SMA/SMK.
MaTA menduga meskipun pekerjaan tersebut belum selesai tepat waktu pada saat itu, Dinas Pendidikan Aceh berencana tetap membayar kepada penyedia.
Dugaan ini diperkuat Laporan Review Inspektorat Aceh. Berdasarkan laporan review Inspektorat Aceh Nomor 700/034/LHR/1A-IV/2024 tertanggal 27 Mei 2024, sisa pembayaran sebesar Rp 44.392.816.036 yang di dalamnya sudah termasuk nilai pokok dan bunga (Rp.10.603.318.036).
Diduga hasil review ini akan digunakan untuk membayar pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu tersebut.
Dalam hal ini, MaTA juga mempertanyakan motif Inspektorat dalam melakukan review, seharusnya mereka melakukan audit terlebih dahulu.
“Dan akibat kebijakan Inspektorat dapat merugikan keuangan Aceh terhadap pengadaan alat peraga dan praktik sekolah tahun 2019 yang tidak semata-mata untuk dapat dilakukan pembayaran, harusnya Inspektorat juga dapat melakukan review temuan-temuan lainnya untuk direkomendasikan,” ungkap Alfian.
Dari sisi yang lain MaTA menduga penagihan pembayaran tunggakan ini terindikasi konflik kepentingan di pucuk pimpinan tingkat eselon II Pemerintah Aceh saat ini.
“Sehingga para geng eselon II tersebut turut meyakinkan Pj Gubernur untuk membayar,” bebernya.
Padahal sesuai ketentuan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018, Dinas Pendidikan Aceh seharusnya tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang gagal menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
Sebagaimana diketahui pengadaan tersebut tidak selesai dikerjakan pada waktu yang sudah ditentukan.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh saat itu, Rachmat Fitri, mengakui banyak paket pekerjaan meubelair yang belum selesai hingga Desember 2019.
Rachmat Fitri juga menyatakan tidak akan melakukan pembayaran kepada penyedia yang tidak menyelesaikan pekerjaan hingga akhir Desember 2019. Pernyataan tersebut termuat dalam beberapa media di Aceh pada Februari 2020.
Karena itu, MaTA meminta Pj Gubernur memastikan tidak ada pembayaran atas pengadaan tersebut, kebijakan tersebut sepertinya sudah direncanakan oleh pihak yang merasa ini lahan pendapatan bagi oknum bermental korup.
Kemudian kepada kepala Dinas Pendidikan Aceh untuk tidak melakukan pembayaran kepada penyedia yang tidak memenuhi kewajibannya hingga masa kontrak berakhir.
“Kami meminta secara tegas ada audit investigasi atas pengadaan tersebut sehingga Pemerintah Aceh memiliki tata kelola atas kebijakan anggaran dan dapat berpedoman pada peraturan yang melarang pembayaran atas pekerjaan yang melewati tahun anggaran,” sebutnya.
MaTA mendesak Kejati Aceh juga melakukan penyelidikan dan penyidikan atas motif review oleh Inspektorat Aceh sehingga anggaran tersebut harus dibayar.
Sehingga ada kepastian hukum atas rencana atau niat tersebut.
Saat ini, MaTA menilai jajaran Pemerintah Aceh masih sangat rawan atas potensi potensi korupsi yang terjadi dan ini menjadi catatan penting untuk Gubernur Aceh terpilih nantinya untuk dalam membersihkan birokrasi yang korup, sehingga pembangunan Aceh kedepan lebih efektif dan berkualitas.