Dua Tahun Lebih Mengendap, Koalisi Masyarakat Sipil Desak KPK Tuntaskan 5 Kasus Korupsi di Aceh
BANDA ACEH— Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh menagih komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menuntaskan penyelidikan terhadap 5 kasus dugaan korupsi besar di Aceh yang telah dua tahun lebih mengendap yang hingga kini tidak pernah diketahui seperti apa perkembangannya.
Adapun Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh terdiri atas YLBHI-LBH Banda Aceh, Forum LSM Aceh, Walhi Aceh, KontraS Aceh, Katahati Institute, Aceh Institute, Komunitas Kanot Bu, Tikar Pandan, SP Aceh, Flower, JKMA, AJI Kota Banda Aceh dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Seperti diketahui, sejak awal penyelidikan terbuka dilakukan, tepatnya pada 3 Juni 2021 hingga 1 Agustus 2023 atau terhitung 789 hari (dua tahun lebih), KPK sama sekali belum menyampaikan perkembangan penyelidikan atas kasus-kasus tersebut. Total pagu anggaran yang diselidiki KPK lebih dari Rp 5,427 triliun.
Padahal penyidik juga telah meminta keterangan dan klarifikasi terhadap sejumlah pihak, namun hingga hari ini tidak ada kabar, tidak ada kepastian hukumnya.
Hal itu Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh di Kantor MaTA, Selasa pagi. (1/8/2023).
Kasus dugaan korupsi adalah pengadaan Kapal Aceh Hebat 1 (Rp 73,9 miliar lebih), Kapal Aceh Hebat 2 (Rp 59,7 miliar lebih) dan Aceh Hebat 3 (Rp 38 miliar lebih).
Proses perizinan PLTU 3 dan 4 di Kabupaten Nagan Raya, proyek multiyears, kasus kode AP/apendiks yang tidak dikenal dalam sistem penganggaran daerah, dan alokasi dana refocusing penanganan Covid-19. Total pagu anggaran yang diselidiki KPK lebih dari Rp5,4 triliun
Kata Alfian, pengadaan kapal tersebut juga dinilai bermasalah karena kondisi kapal yang banyak mengalkami kerusakan, sementara kapal tersebut merupakan kapal-kapal baru.
Lalu, kasus dugaan korupsi proyek multiyears berupa 14 paket pembangunan jalan dan 1 paket pembangunan bendungan dengan total nilai Rp 2,7 triliun, yang mana prosesnya terjadi tanpa ada persetujuan melalui paripurna DPR Aceh, hanya melalui penandatanganan MoU pada Jum’at, 18 September 2020.
Kemudian, kasus Apendiks dengan anggaran Rp 256 miliar yang berkode AP/Apendiks (satu nomenklatur yang sama sekali tidak diketahui dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah), serta kasus dana refocusing, dimana alokasi refocusing di Aceh sebesar Rp 2,3 triliun masuk ke dalam lima besar alokasi anggaran penanganan Covid-19 di Indonesia.
“Kasus-kasus yang diselidiki KPK itu bernilai pagu Rp 5,4 triliun lebih, itu belum termasuk kasus perizinan PLTU 3 dan 4 Nagan Raya. Penyelidikan yang dilakukan KPK kan menggunakan anggaran negara, namun belum ada hasil,” ungkapnya.
Alfian mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat ke KPK bernomor: 020/B/MaTA/VII/2023 tanggal 31 Juli 2023 perihal permohonan informasi pengembangan penyelidikan terbuka di Aceh.
Ini adalah surat yang kedua dikirimkan MaTA mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi Aceh. Sebelumnya pernah dilakukan pada 4 Oktober 2022, dan tidak mendapatkan kepastian padahal surat itu telah diterima KPK pada 6 Oktober 2022.
“Intinya untuk mempertanyakan perkembangan hasil penyelidikan yang pernah dilakukan KPK di Aceh, karena sampai saat ini tidak ada penjelasan,” katanya.
Namun, sudah lebih dua tahun sejak KPK melakukan penyelidikan sejumlah kasus di Aceh pada 3 Juni 2022, belum ada kepastian hasilnya yang seharusnya disampaikan ke publik perkembangannya. (IA)