Guru Besar USK Prof TM Jamil: Wilayah Aceh Jangan Dibagi Seperti Harta Rampasan
Banda Aceh, Infoaceh.net — Polemik pengalihan status kepemilikan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil ke wilayah Sumatera Utara melalui Keputusan Mendagri No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 terus menuai sorotan.
Dalam keputusan yang ditetapkan pada 25 April 2025 tersebut, keempat pulau — Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipah, dan Panjang — dinyatakan masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Prof Dr TM Jamil MSi, menilai persoalan ini sangat serius dan tidak bisa dianggap remeh.
“Ini bukan mainan politik. Pemerintah Aceh harus segera bersikap. Forkopimda, Gubernur, Wali Nanggroe, DPRA, Kapolda, Kodam, Kejaksaan, para bupati/wali kota, hingga anggota DPR/DPD RI asal Aceh harus duduk bersama. Ini persoalan bersama, bukan untuk diserahkan pada satu pihak saja,” ujar Prof TM Jamil, Kamis (12/6).
Prof. TM mempertanyakan apakah langkah-langkah koordinatif tersebut sudah dilakukan.
“Kalau sudah, syukur. Kalau belum, segera lakukan. Jangan biarkan bola liar terus menggelinding tanpa solusi, lalu berakhir pada emosi,” katanya.
Ia mengingatkan dalam konteks penetapan batas wilayah, seharusnya pemerintah berpedoman pada Permendagri No. 41 Tahun 2017, yang menyebutkan bahwa batas wilayah harus didasarkan pada:
1. Peta topografi dan peta bumi;
2. Dokumen resmi dari pemerintah daerah;
3. Hasil survei lapangan.
“Meski Kemendagri mengklaim semua syarat telah dipenuhi, saya melihat justru banyak data dan fakta dari pihak Aceh yang diabaikan. Ini bertentangan dengan asas keadilan administratif. Ahli hukum tentu paham bahwa ini cacat prosedural,” tegasnya.
Ia menilai, persoalan ini bukan semata soal administratif, tetapi menyangkut kedaulatan dan kehormatan daerah.
“Kita tidak boleh berteriak sendiri-sendiri. Ini harus dilakukan secara kolektif. Kerja sama bukan berarti ‘sama-sama kerja’, tapi sinergi yang benar-benar terarah,” imbuhnya.
Terkait tawaran Pemerintah Sumatera Utara (Sumut) untuk pengelolaan bersama, Prof. TM menanggapi tegas.
“Dialog itu penting untuk menjaga hubungan baik, tapi keempat pulau itu harus dikembalikan dulu ke Aceh. Kemendagri wajib membatalkan keputusan tersebut. Bagaimana mungkin kerja sama dibangun di atas ketidakadilan?”
Ia juga menyoroti sikap sebagian elite Aceh yang tampak bungkam.
“Saya belum mendengar pernyataan tegas dari DPRA atau Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe. Rakyat bertanya-tanya, ada apa sebenarnya? Diam dalam persoalan sebesar ini bukan pilihan,” kritiknya.
Prof. TM juga mengingatkan bahwa jika pembiaran ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin kejadian serupa akan menimpa wilayah lain di Aceh.
“Jangan hanya ingin selamatkan diri masing-masing. Kalau ini dibiarkan, ‘hilangnya pulau’ bisa jadi ancaman di daerah lain,” ujarnya.
Mengenai kemungkinan langkah hukum, Prof. TM mengaku pesimis. “Dalam catatan saya, sangat jarang rakyat atau pemerintah daerah menang ketika ‘melawan’ pemerintah pusat lewat jalur hukum. Makanya, dibutuhkan kearifan dan keadilan. Jangan arogan dengan dalih ‘keputusan sudah final’. Bahasa kekuasaan seperti itu sudah tak relevan,” katanya.
Mengakhiri perbincangan, Prof. TM menyampaikan harapannya kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Saya yakin, Pak Prabowo yang saya kenal sebagai seorang demokrat sejati, dan yang punya hubungan baik dengan rakyat Aceh, pasti akan mengoreksi keputusan ini. Tapi itu bisa terjadi kalau semua pihak di Aceh, terutama Wali Nanggroe, juga bersuara,” pungkasnya.