Hakekat “Muhammad adalah Allah” dalam Kitab Al Insan Al Kamil – Al-Jilli
Di bagian akhir Prof. Rubaidi menjelaskan, bahwa tafsir syariat dan tasawuf tidak seharusnya dipertentangkan satu dengan lainnya, apalagi hingga menyesatkan.
Masing-masing memiliki metode sendiri-sendiri atau kajian sendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Maka tasawuf lebih menjelaskan dimensi batin, esoterik atau tersirat. Syariat sebaliknya melihat lewat dimensi yang tersurat, lahiriyah dan eksoterik.
“Penjelasan tasawuf dapat dipastikan memperkuat bagian lain yang tidak dapat dijangkau oleh syariat, karena itu penjelasan ilmu tasawuf menyempurnakan terhadap penjelasan syariat, maka dari itu keduanya tidak boleh dipertentangkan, karena saling memperkuat atau menyempurnakan,’’ ucapnya.
Para penggiat tasawuf telah melewati fase atau tangga (maqamat) syariat, sementara sebaliknya maqam syariat belum melewati tangga tarekat, hakekat terlebih lagi makrifat. Jika demikian halnya bagaimana syariat dapat menyalahkan, bahkan menghukumi maqamat yang lebih tinggi dari itu?
“Bukankah seharusnya maqamat atau tangga itu merupakan tahapan yang harus di lalui setiap umat Islam, agar kita lebih mengetahui dan semakin dekat dengan Allah lewat pengamalan tasawuf ini,” tutup Prof Rubaidi. (IA)