Israel-AS Keroyokan, Iran tak Terkalahkan
Rudal-rudal balistik supersonik Iran mampu melewati sistem pertahanan Iron Dome yang saat itu malah lebih mirip Iron Colander. Rudal Iran sampai ke Rehovot, bahkan menghantam Weizmann Institute of Science, sebuah simbol kecanggihan Israel.
Dan, oh ya, ekonomi Israel nyaris lumpuh karena kehabisan peluru interceptor dan terlalu banyak warga sipil yang harus mengungsi. Pariwisata mati total, perdagangan terhenti, dan ribuan bangunan luluh lantak. Harga kebanggaan itu mahal, Bung.
Sementara Iran, meskipun hancur di beberapa titik dan kehilangan nyawa sebagai syuhada, tetap berdiri dan bahkan tampil dengan kepala lebih tegak. Semua orang sepakat, kemampuan teknologi dan militer Iran begitu hebat, meski 46 tahun dikucilkan dalam embargo.
Iran juga menunjukkan kontrol yang efektif atas situasi dalam negeri. Dalam hitungan hari, mereka mengeksekusi tiga orang yang dituduh bekerja sama dengan Mossad dan menangkap 700 orang yang diduga terlibat dalam operasi Israel di dalam negeri (Nournews, 26 Juni 2025).
Dunia internasional makin sepakat melihat Iran sebagai korban agresi, bukan biang kerok. Iran bahkan sempat “mengabari” lebih dulu ke Trump sebelum membalas serangan Amerika. Ya, ini mungkin satu-satunya perang dalam sejarah modern yang pakai RSVP.
Bahkan setelah gencatan senjata diumumkan, Trump justru memperingatkan Israel agar tidak menyerang lagi. Siapa sangka? Kali ini malah Amerika memperingatkan Israel, bukan sebaliknya. Dunia terbalik? Mungkin hanya sedang rotasi normal.
Seperti yang ditulis Ori Goldberg, seorang analis independen dan eks profesor dengan spesialisasi Iran, dunia tampaknya lebih nyaman melihat Iran sebagai mitra ekonomi daripada musuh ideologis. Iran yang dahulu dianggap penyulut kekacauan, kini dilihat sebagai partner stabilisasi.
Israel awalnya ingin dunia percaya bahwa mereka sedang menggagalkan kehancuran dunia dengan menghancurkan program nuklir Iran. Tapi dunia justru melihat mereka sebagai pihak yang justru mempercepat kehancuran regional.
Apakah ini akhir dari strategi “assassination diplomacy”? Apakah ini pertanda bahwa bom bukan solusi diplomatik? Atau kita hanya menunggu musim tayang berikutnya, ketika semua pemain masih ada, tapi naskahnya makin lelah?