SIGLI — Presiden Joko Widodo meluncurkan program pemenuhan hak korban dari 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Aceh pada Selasa (27/6).
Sebagian korban dan keluarganya menerima tawaran pemerintah dan mengaku “sudah memaafkan” apa yang menimpa keluarga mereka.
Namun sebagian lainnya menolak upaya itu dan masih menuntut keadilan melalui penyelesaian yudisial.
Jokowi mengatakan program ini adalah bagian untuk “memulihkan luka bangsa akibat pelanggaran HAM berat masa lalu yang meninggalkan beban berat bagi para korban dan keluarga korban.
“Karena itu luka ini harus segera dipulihkan agar kita mampu bergerak maju, dan pada awal bulan Januari lalu, saya memutuskan pemerintah akan menempuh penyelesaian nonyudisial yang fokus pada pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan pemulihan yudisial,” kata Jokowi dalam pidatonya di Rumah Geudong, Gampong Bilie Aron Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, Aceh.
Rumah Geudong adalah rumah tua yang menjadi tempat penyiksaan terhadap masyarakat oleh TNI selama konflik Aceh (1989-1998).
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD juga mengatakan bahwa pemulihan hak korban ini ditempuh sebagai upaya di tengah kerumitan penyelesaian yudisial maupun nonyudisial.
“Daripada berdiam diri dan menyelesaikan kerumitan dua jalur tersebut, presiden mengambil kebijakan untuk langkah-langkah pemenuhan hak korban melalui Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” kata Mahfud.
“Adanya Kepres tidak memutuskan penyelesaian yudisial, tapi semata-mata untuk memenuhi hak korban lebih dulu,” sambungnya.
Lewat program pemulihan ini, para korban akan menerima sejumlah bantuan seperti jaminan kesehatan, beasiswa pendidikan, bantuan renovasi rumah, dan lain-lain.
Ini merupakan tindak lanjut dari sebagian rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) yang disampaikan kepada Presiden Jokowi pada 11 Januari 2023.
Presiden Jokowi menyatakan program-program pemulihan hak korban “tidak akan menegasikan proses yudisial” kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Sejumlah korban kasus-kasus pelanggaran HAM berat turut menghadiri peluncuran ini secara langsung maupun virtual.
Di antaranya adalah korban dari kasus Rumah Geudong, Jambo Keupok, Simpang KKA, Wasior, Wamena, hingga eksil peristiwa 1965.
Sementara itu, salah satu korban kasus Rumah Geudong, Abdul Wahab, 82, menyatakan “menolak” penyelesaian nonyudisial yang baru saja dimulai pemerintah.
“Kalau yudisial, saya terima, nonyudisial enggak. Pelaku masih hidup, yang diperlakukan masih hidup,” kata Abdul Wahab kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Keadilan itu perlu untuk korban
Abdul Wahab pernah ditahan dan disiksa di Pos Sattis Rumah Geudong selama 35 hari. Akibatnya, dia mengalami cacat di kaki dan pinggang.
Dia menjadi salah satu korban yang menolak upaya nonyudisial sejak awal pemerintah menggaungkan rencana ini.
Abdul mengaku pernah diundang oleh tim PPHAM pada awal-awal pembentukan tim tersebut. Namun kepada tim itu, dia mengatakan bahwa dirinya menolak diberi dispensasi.
“Saya tidak membutuhkan apa-apa. Yang saya butuhkan hanya tanah seluas dua meter dan kain putih. Saya tidak membutuhkan apa-apa, selain keadilan,” tuturnya.
Keluarga korban dari tragedi Simpang KAA, Murtala, juga masih menuntut agar pemerintah “tidak menafikan” penyelesaian yudisial.
Murtala kehilangan abang sepupunya bernama M Nasir yang tewas ditembak dalam peristiwa itu.
“Keadilan itu perlu untuk korban, bukan semata-mata karena bantuan itu,” kata Murtala.
Murtala, yang juga merupakan Ketua Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KAA mengaku sebagian besar korban dan keluarga peristiwa tidak menerima undangan sama sekali.
Kalaupun diundang, dia menyatakan “enggan hadir” dalam acara peluncuran itu apabila tidak seluruh korban dilibatkan.
“Seharusnya, kami, kan atas nama forum, kan, bisa mewakili seluruh korban. Kami, kan, ingin langsung dialog dengan presiden terkait dengan pemulihan,” kata Murtala kepada wartawan di Aceh Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Menurutnya, hanya 11 orang yang tercatat sebagai korban yang diundang ke acara itu dari total 33 korban dan keluarga yang sudah diperiksa oleh Komnas HAM.
“Korban Simpang KKA, itu kan banyak. Bukan 11 orang, bukan 10 orang, bukan 20 orang, yang seharusnya, dalam kick-off ini, kalau kita lihat itu korban akan diundang, tetapi atas nama forum korban Simpang KKA, sampai sekarang [kami] belum menerima undangan,” kata Murtala.
Seorang korban penyiksaan di peristiwa Rumoh Geudong menolak bantuan Presiden Joko Widodo dan penyelesaian kasus Pelanggaran HAM berat secara non-yudisial.
Direktur LSM Paska Aceh, Farida Haryani yang ditunjuk sebagai pendamping korban Pelanggaran HAM Berat di Rumoh Geudong menyebutkan ada satu orang korban yang menolak penyelesaian secara non-yudisial.
Korban tersebut merupakan seorang yang sudah dipertemukan dengan PPHAM dan dia menginginkan agar ada pengakuan negara dan mengadili siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu.
“Menolak (bantuan presiden) itu ada satu orang. Dia hanya ingin pelaku diadili sesuai UU yang berlaku,” kata Farida kepada wartawan, Senin (26/6).
Selain diselesaikan secara yudisial, korban tersebut juga meminta agar warga sipil yang dipakai TNI untuk menyiksa korban di Rumoh Geudong dihadirkan. Ia pun berjanji tidak akan berbuat onar saat dipertemukan dengan warga sipil itu.
Lalu korban hanya meminta pelaku dari kalangan sipil menunjukkan di mana makam orang-orang yang telah dibunuh saat peristiwa Rumoh Geudong. Korban tersebut yakin warga sipil itu tahu persis lokasinya.
“Korban ini mengetahui ada sipil yang dipakai TNI untuk menyiksa dia, dia sudah meyakinkan itu ke PPHAM, kalau bisa membawa pulang pelaku, dia hanya meminta pelaku menunjukkan dimana dikubur orang-orang yang dibunuh saat itu,” ucapnya.
Farida bilang saat ini korban tersebut tidak mengharap apapun di Kick Off penyelesaian Pelanggaran HAM Berat secara non-yudisial yang digelar Selasa (27/6). Bahkan ia tidak ingin berjumpa dengan Presiden.
“Dia tidak mau ketemu Presiden dan tidak mau dikasih apapun. Keadilan dia peroleh jika pengadilan HAM itu terwujud,” sebutnya.
Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan untuk penyelesaian yudisial nanti akan dirampungkan oleh Komnas HAM, Kejaksaan dan DPR RI.
“Data non-yudisial bukan untuk menggantikan yudisial, jadi datanya tidak akan ada yang terganggu, jadi apa masalahnya? kan yang yudisial nanti Komnas HAM bersama Kejaksaan dan DPR RI nanti,” ucapnya.
Upaya penyelesaian nonyudisial ini pertama kali bergulir ketika Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 untuk membentuk Tim PPHAM.
Tim PPHAM kemudian menerbitkan 11 rekomendasi yang di antaranya meminta pemerintah mengakui dan menyesalkan terjadinya 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rekomendasi lainnya adalah menyusun ulang sejarah dan rumusan peristiwa sebagai narasi sejarah versi resmi negara yang berimbang seraya mempertimbangkan hak-hak asasi pihak-pihak yang telah menjadi korban peristiwa.
Pemerintah juga diminta memulihkan hak-hak para korban atas peristiwa yang terjadi, mendata para korban, membangun rekonsiliasi, hingga menjamin ketidakberulangan peristiwa pelanggaran HAM berat.
Presiden Jokowi pun telah menyampaikan “pengakuan” dan “penyesalannya” terhadap 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada 11 Januari 2023.
Setelah itu, pemerintah meluncurkan program pemulihan hak-hak korban yang melibatkan lintas kementerian dan lembaga.
Pemerintah pun telah berulang kali menyampaikan bahwa upaya ini tidak menafikan upaya yudisial, yang sejauh ini belum membuahkan hasil.
Sejauh ini, 35 terdakwa pelanggaran HAM berat dari empat kasus telah dinyatakan bebas karena tak cukup bukti.
Sementara itu, terkait desakan untuk pengungkapan kebenaran, Mahfud MD mengungkapkan bahwa hal itu “sudah pernah dibicarakan”, namun sejarah yang terungkap selalu “berbeda-beda”.
“Oleh sebab itu kita sekarang perhatikan korbannya saja, soal kebenaran sejarahnya itu ilmu. Kemdikbud akan memberikan dan menyediakan biaya penelitian bagi siapa saja yang menulis sejarah, tapi tidak mungkin itu menjadi satu-satunya kebenaran karena setiap penulis sejarah itu punya orientasinya sendiri dan harus dihargai,” kata Mahfud dalam jumpa pers di Jakarta pada Jumat (23/6). (IA)