Kewenangan UUPA Dicabut, Anggota DPRK Simeulue Gugat Puan Maharani ke PN Jakpus

nggota DPRK Simeulue Ugek Farlian menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani, ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (13/12)

Banda Aceh — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Simeulue Ugek Farlian menggugat Ketua DPR RI Puan Maharani, ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus).

Gugatan didaftarkan oleh Kuasa Hukumnya, Safaruddin, pada Rabu (13/12/2023), melalui e -court dan telah diregister secara online dengan Nomor Register: PN JKT.PST-131202023OCR.

Gugatan tersebut terkait dengan perbuatan DPR RI yang tidak menjalankan perintah UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Peraturan Presiden Nomor 75 tahun 2008 tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh.

Adapun alasan Ugek mengajukan gugatan tersebut karena dirinya selaku Anggota DPRK Simeulue merasa dirugikan dari tidak dilaksanakannya perintah UUPA dan Perpres 75/2008 tersebut, seperti mencabut kewenangan Kabupaten di Aceh dalam mengelola pelabuhan yang telah diatur dalam Pasal 254 UUPA.

Pasal 254 ayat (1) menyatakan, “Penyerahan kewenangan pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum dari Pemerintah kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008”.

Ayat (2), “Pengelolaan pelabuhan dan bandar udara umum yang sudah ada pada saat Undang-undang ini diundangkan dikerjasamakan antara badan usaha milik negara, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 dilaksanakan paling lambat awal tahun anggaran 2008.

Kemudian kewenangan tersebut dicabut dengan disahkannya UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana dalam pengesahan UU 23/2014 tersebut, DPR RI tidak menjalankan perintah UUPA dan Perpres 75/2008 dengan berkonsultasi dan meminta pertimbangan DPRA terlebih dahulu ketika dalam UU yang dibahas terkait langsung dengan kewenangan Aceh.

“Gugatan ini terkait kepatuhan hukum dari DPR RI selaku pembuat UUPA dalam menjalankan perintah UUPA itu sendiri, dalam UUPA yang kemudian ditegaskan kembali oleh Perpres 75/2008 diperintahkan kepada DPR RI agar melakukan konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA jika ada materi dalam pembahasan suatu Undang-undang itu berkaitan langsung dengan kewenangan Aceh, seperti kewenangan kabupaten mengelola Pelabuhan yang telah diberikan dalam pasal 254 UUPA, kamudian dicabut dengan UU 23/2014, dan proses pengesahan UU 23/2014 ini tidak melibatkan DPRA selaku lembaga yang harus dilibatkan karena materi dalam UU tersebut berkaitan langsung dengan Aceh,” kata Ugek, dalam pernyataannya, Rabu (13/12/2023).

Sebelum gugatan diajukan ke Pengadilan, DPD, DPRA dan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh sudah meyurati dan melayangkan somasi kepada Ketua DPR RI, namun semuanya tidak ditanggapi.

Seharusnya sejak tahun 2020 DPR RI harus merubah Tata Tertibnya sejak menerima surat dari DPD dan DPRA yang menyampaikan tentang kekhususan Aceh dalam hal konsultasi dan pertimbangan DPRA dalam pembahasan suatu UU yang materinya berkaitan langsung dengan Aceh, bahkan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh telah melayangkan somasi pada November 2023 lalu, namun tidak juga diindahkan oleh Ketua DPR RI.

Karena sikap tersebut maka Ugek, selaku Anggota DPRK Simeulue yang telah dirugikan akibat dari disahkannya UU 23/2014 yang telah mencabut kewenangan Kabupaten dalam mengelola Pelabuhan dan menyerahkan ke Provinsi.

“Anggota DPD RI asal Aceh dan Ketua DPRA, Dahlan Jamaluddin, pada tahun 2020 telah menyurati Pimpinan DPR RI, menyampaikan tentang perintah UUPA dan Perpres 75/2008 tentang Konsultasi dan Pertimbangan DPRA oleh DPR jika melakukan pembahasan materi suatu UU yang berkaitan langsung dengan Aceh, dan teknisnya harus dimasukkan dalam tata tertib DPR, namun hal tersebut diabaikan oleh DPR, bahkan YARA telah melayangkan somasi bulan lalu, namun tidak juga diindahkan oleh DPR, karena itu kami ingin Pengadilan yang memerintahkan DPR agar melaksanakan perintah UU tersebut,” tambah Ugek.

Kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Ugek, meminta agar memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan Pasal 8 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh c/q Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh dengan menyesuaikan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh cq Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh sejak putusan ini dibacakan.

”Memerintahkan kepada Tergugat untuk melaksanakan Pasal 8 Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh c/q Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh dengan menyesuaikan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Tertib sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh c/q Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh sejak putusan ini dibacakan,” bunyi petitum dalam gugatan tersebut. (IA)

Tutup