BANDA ACEH — Pola gerakan dan pengaruh terorisme saat ini telah merambah ke generasi muda dengan memanfaatkan media sosial dan permainan game online.
“Kelompok terorisme juga mulai memanfaatkan permainan game online dan berkomunikasi dengan mereka untuk mempengaruhi pola pikirnya,” kata Peserta Didik Sespimti Angkatan 33 Kombes Pol Dr Dedy Tabrani.
Hal itu disampaikannya saat memaparkan bahaya terorisme, intoleransi, dan radikalisme dalam kuliah umum dengan mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara (IAN) dan FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh di Ruang Teater Kampus Setempat, Senin, 19 Februari 2024.
Dia mengatakan, secara umum, kelompok terorisme menggunakan beberapa dalih untuk mempengaruhi pola pikir individu atau kelompok masyarakat agar terpengaruh dengan ideologi kelompok mereka.
Beberapa dalih yang biasanya digunakan, seperti, mengajarkan sikap anti Pancasila. Dalam hal ini mereka bergabung dalam kelompok pro ideologi transnasional. Biasanya mereka membanding-bandingkan ideologi pancasila dengan agama.
Misalnya, mempertanyakan mana lebih bagus antara pancasila dengan Al-Qur’an. Ini merupakan pertanyaan yang tidak relevan dan tidak tepat dalam konteks bernegara seperti di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghargai toleransi beragama.
Kedua, mengajarkan paham takfiri. Biasanya mereka “memotong-motong” ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
“Seharusnya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an itu terlebih dahulu memahami asbabun nuzulnya dan kontekstual,” ujarnya.
Ketiga, para kelompok radikalisme dan terorisme ini juga mengajarkan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan anti perubahan.
Selanjutnya, keempat, mengajarkan intoleransi terhadap keragaman dan popularitas.
Bermetamorfosis dari DI/NII
Kehadiran terorisme di Indonesia, menurut Kombes Dedy bermetamorfosis dari DI/NII dan berkembang menjadi beberapa kelompok lainnya.
Di antara kelompok itu, sebut Dedy, Firkah Abu Hamzah adalah gerakan terorisme yang paling keras, fanatik dan menyuruh orang untuk melakukan kekerasan.
Abu Hamzah sendiri, kata Dedy, awalnya bersekolah di New Zealand. Sekarang berada di Suriah bergabung dengan ISIS.
Di antara model gerakan kelompok ISIS adalah melibatkan perempuan, anak, dan bahkan anggota keluarganya untuk melakukan aksi terorisme dan bom bunuh diri.
Fakta terakhir, kata Kombes Dedy, pimpinan ISIS di dunia itu juga meledakkan diri sendiri bersama anggota keluarganya.
Ada juga kelompok salafi wahabi yang suka membuat kajian agama sendiri-sendiri, tertutup, dan bersifat eksklusif, tetapi dalam kasus bom di Surabaya, ia mengatakan bahwa karakteristik pelaku sudah membaur dan berperilaku seperti masyarakat biasa, seperti menggunakan celana jeans dan istrinya tidak menggunakan cadar.
Selain itu, ia juga lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Surabaya yang mengambil jurusan kimia. “Jadi dulu dianggap sudah tobat. Densus 88 ternyata tertipu,” katanya.
Gelombang Terorisme
Kombes Dedy juga menjelaskan tentang gelombang terorisme yang terjadi Indonesia. Secara umum terdapat tiga gelombang terorisme di Indonesia. Ketiga gelombang itu, yaitu, gelombang pertama antara tahun 1983-1992. Fase ini mereka melakukan pelatihan di Afghanistan.
Gelombang kedua antara tahun 1995-1999. Dimana mereka memusatkan pelatihan di Moro Filipina. Diantara aksi mereka yang terkenal adalah pengeboman di JW Marriot dan pusat pelatihan Jalin Jantho, Aceh. Selanjutnya gelombang ketiga antara tahun 2014 – sekarang, terkait dengan ISIS Suriah dan Irak.
Di antara aksi mereka adalah pengeboman Thamrin. “Sekarang masih ada ribuan WNI yang berada di Suriah,” sebutnya. Kelompok-kelompok terorisme ini, sebut Kombes Dedy, biasanya mendapatkan pendanaan melalui berbagai kamuflase yang mereka lakukan, seperti kotak amal, yayasan amal dan sosial, berdalih lembaga amil zakat, dan donasi-donasi lainnya. Termasuk kegiatan-kegiatan legal.
Pencegahan Terorisme Saat ini.
Pemerintah telah mengesahkan UU No.5/2018. Undang-undang tersebut membagi tiga tahapan pemberantasan terorisme, yaitu pencegahan, penindakan, dan pemulihan. “Saat ini, fokus utama pemerintah adalah mengutamakan pencegahan daripada tindakan,” katanya.
Dalam hal tindakan yang akan dilakukan pemerintah, Kombes Dedy menganalogikan memimpin negara seperti memimpin keluarga.
“Terkadang harus memutuskan pilihan yang berat berdasarkan resiko terkecil dan berdampak luas bagi kepentingan Masyarakat,” ujarnya.
Dia mengatakan terorisme berbeda-beda di seluruh dunia, berdasarkan karakteristik di suatu negara. Hal itulah, menurut Kombes Dedy, di dunia ini sebenarnya juga dikenal ada terorisme yang berhaluan kiri. Bukan hanya soal terorisme yang dianggap berhaluan kelompok salafi wahabi atau sejenisnya.
Sementara Dekan FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh Dr Muji Mulia, didampingi Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerja Sama Reza Idria PhD ikut menyatakan komitmennya beserta seluruh mahasiswa FISIP untuk mencegah intoleransi, radikalisme dan segala bentuk terorisme di kalangan mahasiswa dan generasi muda Indonesia. (IA)