BANDA ACEH — Kabid Humas Polda Aceh Kombes Pol Winardy mengklarifikasi pemberitaan terkait adanya penolakan Polresta Banda Aceh terhadap laporan SA (19) mahasiwi korban dugaan percobaan pemerkosaan di Kecamatan Darul Imarah Aceh Besar.
Secara tegas Winardy menyampaikan, bahwa tidak ada penolakan yang dilakukan kepolisian di jajaran Polda Aceh terhadap laporan yang ingin disampaikan oleh masyarakat.
Saat itu, katanya, pelapor diminta untuk scan QR Code PeduliLindungi, di situ diketahui yang bersangkutan belum vaksin. Selanjutnya ditawarkan untuk divaksin, lalu pelapor menyatakan dirinya tidak bisa vaksin, karena ada penyakit bawaan.
Kemudian petugas menawarkan untuk diperiksa oleh dokter dan diterbitkan surat keterangan, akan tetapi korban menolak. Lalu pelapor dengan keinginannya sendiri pulang meninggalkan Mapolresta.
“Jadi, tidak ada yang namanya penolakan, bahasanya jangan dipelintir. Yang ada, pelapor diarahkan untuk vaksin dan setelah itu silakan melaporkan kembali,” tegas Winardy saat konferensi pers, Rabu (20/10) di Mapolda Aceh.
Selain itu, Winardy juga meluruskan tentang pemberitaan tidak adanya tanda bukti lapor saat korban melanjutkan laporannya ke Polda Aceh. Dalam hal ini, ia juga dengan tegas mengatakan itu sesuai dengan konsultasi yang diterima penyidik.
Karena, setiap laporan yang dianggap krusial dan sensitif, pihak SPKT mengarahkan pelapor untuk konsul ke bagian yang menanganinya, dalam hal ini Unit PPA Ditreskrimum Polda Aceh.
“Saat konsul, petugas menerimanya dengan baik. Bahkan diberikan makan dan minum. Namun, saat itu pelapor merasa tidak nyaman karena yang mengambil keterangan adalah polisi pria. Karena para Polwan sedang melaksanakan vaksinasi massal Ditreskrimum. Pelapor bersama pendamping memilih pulang dan akan melaporkannya kembali saat ada Polwan. Nomor petugas pun sudah dikasih,” terang Winardy.
Namun demikian, Polda Aceh melalui Ditreskrimum yang diwakili Unit PPA sudah mengerahkan anggotanya ke lapangan untuk melakukan pendalaman dan langkah proaktif dengan mendatangi pelapor.
Setelah diinterview dan meninjau TKP, petugas langsung menuntaskan laporan tersebut di rumah korban.
“Penyidik juga sudah mengambil keterangan lengkap dari pelapor ke rumahnya. Sehingga, sekarang kasus dugaan pemerkosaan tersebut resmi ditangani Ditreskrimum Polda Aceh,” ujar Winardy.
Dalam kesempatan itu juga Winardy mengimbau, agar masyarakat yang belum vaksin untuk segera melaksanakannya. Karena itu perlu untuk mempercepat terciptanya herd immunity di Aceh.
Saat ini, Aceh baru 28 persen yang vaksin dan urutan ke-31 se-Indonesia. Oleh karena itu, segera vaksin di gerai-gerai vaksin yang disediakan pemerintah.
Apalagi, katanya, apliaksi PeduliLindungi mengharuskan masyarakat vaksin agar bisa dengan mudah mengakses tempat-tempat tertentu, seperti pelayanan publik.
Seperti diberitakan sebelumnya, Polresta Banda Aceh tidak langsung menerima laporan korban dugaan upaya pemerkosaan. Penolakan ini karena korban tidak bisa menunjukkan sertifikat vaksin COVID-19.
Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh, Muhammad Qodrat, mengatakan dugaan upaya pemerkosaan itu dialami seorang mahasiswi berusia 19 tahun di Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Ahad (17/10) lalu.
Korban baru tiga bulan tinggal di kawasan itu bersama adik perempuan dan ibunya. Saat ia tinggal sendiri di rumah, seorang pria mengetuk pintu sehingga membukanya. Pria itu lalu menutup wajah korban sambil mendorongnya ke dalam. Korban yang melawan dengan berteriak membuat pria itu kabur karena takut diketahui warga sekitar.
Pada Senin (18/10), korban didampingi LBH Banda Aceh mengadukan perkara ini ke Polresta Banda Aceh. “Setiba di sana, petugas piket menanyakan sertifikat vaksin, mereka mengatakan kalau tidak ada sertifikat vaksin tidak boleh masuk,” kata Qodrat, dalam keterangan pers, Selasa (19/10) siang.
Menurut Qodrat, dua anggota staf LBH Banda Aceh yang memiliki sertifikat vaksin diperbolehkan masuk dan datang ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Polisi di sana juga menanyakan sertifikat vaksin.
Qodrat menuturkan korban tidak memiliki sertifikat vaksin karena tidak boleh vaksin, sementara surat keterangan dokter yang menjelaskan hal itu berada di kampung halamannya, tidak dibawa ke Banda Aceh.
“Mereka di SPKT tetap menolak kalau tidak ada sertifikat vaksin,” ujar Qodrat.
Ditolak di sana, korban melaporkan perkara dugaan upaya pemerkosaan ke Kepolisian Daerah Aceh. Mereka diterima di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, tapi tidak diberikan surat tanda bukti lapor karena beralasan terduga pelaku tidak diketahui. Padahal, “mencari pelaku itu bukan tugas korban,” tutur Qodrat.
LBH Banda Aceh menilai penolakan laporan ini bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk diakui sebagai subjek hukum.
“Hak melaporkan ke polisi apabila ada tindakan pidana hal ini tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun termasuk pandemi,” kata dia. (IA)