KPA Tolak Perubahan Pasal Bendera Pada Draf Revisi UUPA
Padahal sebelumnya, qanun tersebut secara jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007.
“Seharusnya ketika qanun tersebut tidak berpedoman dengan perundangan-undangan, maka yang direvisi adalah qanun tersebut, bukan memaksakan qanun tersebut menjadi acuan ketika perubahan UUPA dilakukan,” tegasnya.
KPA juga memprotes sejumlah pasal dalam revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang membuat kewenangan lembaga legislatif di Aceh terlalu over bahkan tak lagi berpedoman pada perundang-undangan.
“Katakan pada pasal 8 draf revisi UUPA, pada ayat 1 dan 2 pasal tersebut disebutkan bahwa untuk persetujuan internasional hingga UU yang diberlakukan di Aceh harus mendapat persetujuan DPRA. Bahkan yang lebih lanjut pada ayat (4), tata cara pemberian persetujuan itupun hanya diatur melalui tata tertib DPRA, dan tidak harus berpedoman pada aturan perundangan yang lebih tinggi,” katanya.
Ironisnya lagi, lanjut Hasbar pada pasal 24 ayat (2) dimana DPRK melaksanakan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kemudian pada ayat (3) pelaksanaan tugas dan kewenangan pun hanya mengacu kepada tata tertib DPRK tidak lagi berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Bahkan, pada bagian ketiga tentang hak, kewajiban dan kode etik perubahan pasal 25 ayat (1) huruf h juga terkesan tak logis dimana DPRK/DPRA menggunakan anggaran baik APBK atau APBA tak lagi mesti harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan tetapi cukup diadministrasikan oleh Sekwan.
Belum lagi, kata Hasbar, bicara pasal 25 ayat 2 yang semakin membuat peran partai dominan di DPRK/DPRA, semakin mudah mengatur kepala pemerintahan Aceh dengan dikuranginya jumlah persetujuan hak angket sari 3/4 dari jumlah DPRK/DPRA menjadi 2/3. Sehingga siapapun kepala daerah di Aceh harus sepenuhnya mengikuti kehendak partai berkuasa diparlemen atau akan dimakzulkan.
“Bahkan hal yang lebih lucu, pada pasal 25 ayat 9 dimana Tatib DPRK/DPRA yang semestinya sesuai dengan perundang-undangan juga pasal tersebut dihapus. Sehingga DPRK/DPRA semakin berkuasa dalam melakukan berbagai hal tanpa harus sesuai atau berpedoman pada peraturan perundang-undangan, bahkan jika kita lihat lebih lanjut pada perubahan pasal 26 ayat (3) pada draft revisi UUPA dimana hak dan kewajiban DPRA/DPRK diatur dalam tata tertib DPRA/DPRK tanpa perlu berpedoman kepada perundang-undangan,” bebernya.