Majelis Pendidikan Aceh Mati Suri di Tangan DPRA
Infoaceh.net, Banda Aceh – Majelis Pendidikan Aceh (MPA) terancam vakum akibat mandeknya proses pengesahan anggotanya oleh Komisi 7 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2024–2029 yang membidangi Keistimewaan dan Kekhususan Aceh
Padahal, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2022 tentang Majelis Pendidikan Aceh, yang merupakan inisiatif DPRA yang telah mengatur mekanisme seleksi yang lebih ketat, transparan dan partisipatif dibandingkan aturan aturan qanun tahun 2006 sebelumnya yang telah mereka cabut.
Qanun Nomor 7 Tahun 2022 memperketat proses seleksi menjadi anggota MPA melalui tahapan mekanisme berjenjang penjaringan, penyaringan, Musyawarah Besar (Mubes), peranan komisi 7 DPRA memilih 5 orang kandidat ketua dari 21 nama yang terpilih dari Mubes dan terakhir Gubernur Aceh memilih Ketua dan Wakil ketua.
Namun tahapan setelah Mubes, dimana Gubernur Aceh telah mengajukan 21 nama hasil Mubes ke DPRA melalui komisi 7 DPR Aceh yang diberi mandat untuk melakukan wawancara dan menetapkan 5 nama terbaik yang akan dikirim kembali ke Gubernur Aceh, macet belum diproses untuk uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.
Hingga kini, proses itu tak kunjung dilanjutkan oleh DPRA periode saat ini. Hal ini menuai kritik dari kalangan akademisi dan pemangku kepentingan pendidikan di Aceh.
“Sangat ironis, Qanun Nomor 7 Tahun 2022 yang mereka inisiasi sendiri justru diabaikan. Padahal, jika dibandingkan Qanun Nomor 6 Tahun 2006 yang telah mereka cabut, mekanisme dan tahapan melalui qanun baru ini jauh lebih terbuka, partisipatif melibatkan banyak unsur dan akuntabel,” ungkap Dr Jalaluddin MPd, Dekan FKIP Universitas Serambi Mekkah, salah satu peserta Mubes MPA, kepada media ini, Rabu (7/5) di Banda Aceh.
Lebih lanjut Dr Jalaluddin menilai ada ketidakkonsistenan dalam sikap Komisi 7 DPRA. Terkesan tidak memprosesnya, malah di luar beredar isu bahwa Komisi 7 DPRA akan melakukan rektrumen ulang sendiri seperti KIP, walau dalam qanun tidak ada norma hukum demikian.
Bahkan ia menyoroti ketidakpercayaan Komisi 7 DPRA terhadap hasil Mubes yang sudah berjalan sesuai Qanun dan Pergub yang berlaku.
Jika DPRA ragu terhadap kinerja kepanitiaan dari sekretariat MPA, Ir T Mirzuan MT hingga nama-nama tim yang menguji kompetensi dalam tahapan penjaringan dan penyaringan peserta yang mendaftar seperti Prof Dr Ir Abdi A Wahab MSc (Ketua), Prof Dr Nazamuddin MA (Sekrektaris), Prof Dr T Zulfikar, SAg MEd (Anggota), Prof Dr Sofyan A Gani MA (Anggota), Prof Dr Ir Syamsul Rizal (Anggota), seharusnya DPRA dapat dengan mudah memanggil mereka-mereka.
Bukan malah menjadikan lembaga keistimewaan tidak istimewa dan membiarkan isu tidak baik berkembang.
“Kalau proses Mubes yang sah sesuai qanun dan pergub serta melibatkan banyak orang untuk memilih pengurus MPA tidak dipercaya, maka saya usulkan bubarkan saja lembaga keistimewaan di Aceh. Ini akan menjadi karya monumental dari komisi bidang keistimewaan DPRA. Supaya rakyat Aceh perlu tahu, di bawah kepemimpinan Mualem–Dek Fad dan dibawah Ketua DPRA Zulfadli, lembaga-lembaga keistimewaan dibubarkan untuk efesiensi anggaran negara, karena sesungguhnya yang beruntung dari eksistensi semua lembaga istimewa di Aceh adalah ASN di sekrektariat, mereka menjadi orang-orang kaya di Aceh,” tegasnya.
Ia menyarankan agar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh ke depan, tidak perlu lagi ada pembahasan terkait kelompok kerja (pokja) keistimewaan.
“Untuk apa bicara lembaga keistimewaan Aceh? Kalau sesama orang Aceh penuh dengan kecurigaan. Dalam perang dulu berjuang atas nama keistimewaan, dalam damai bergerak untuk mengebirinya. Kalau lembaga yang bersejarah yang sudah ada saja tidak mendapat asistensi program eksekutif dan legislatif, maka sudah layak dibubarkan,” tambahnya.
Sebagaimana diketahui, peserta Mubes MPA yang memiliki hak pilih berjumlah 44 orang mewakili berbagai unsur pemangku kepentingan pendidikan di Aceh yang sesuai dengan qanun dan pergub, seperti: PGRI, IGI, PGMI, Wakil Ketua MPU, Dayah Ulee Titi, Dayah Ishafuddin, Kakanwil Kemenag Aceh, Dinas Pendidikan Aceh, Kadis Pendidikan Dayah, Perwakilan Komite Sekolah, Biro Hukum Setda, Biro Keistimewaan Setda Aceh, BKOW, Forum Anak Aceh, Balai Syura Inoeng Aceh, KADIN Aceh, serta tokoh-tokoh pendidikan dan budaya seperti Prof Yusni Saby MA PhD, Mawardi Ismail, MHum, Prof Dr Warul Walidin Ak MA, Suraiya Kamaruzzaman ST MT TA Sakti, Nabhani HS, DA Kemalawati dan lainnya.
Mereka telah mengikuti Mubes yang digelar 25 April 2024 di Hotel Hermes Palace Banda Aceh, dengan pimpinan sidang Dr Edwar MNur SE MM, Almunzir dan Hj Nurhayati serta disaksikan oleh Prof Dr Muhibbuththabary, MAg (Wakil Ketua MPU) dan Ismaidar MPd.
“Saya berkomentar karena tanggungjawab moral saja sebagai salah seorang peserta Mubes yang ditetapkan dengan Pergub mewakili unsur akademisi kampus USM, berharap Kepala Sekrektariat MPA, para profesor yang tergabung dalam tim penguji kompetensi dan para peserta Mubes lainnya dapat memberi pandangan yang relevan, terbuka dan apa adanya, supaya kita tidak malu dengan asumsi jahat yang beredar, untuk ikhtiar memajukan pendidikan Aceh yang lebih baik, sudah saatnya berani bicara, tidak perlu khawatir atas intervensi, karena jalan yang benar pasti mendapat kemuliaan,” ajak Dr Jalaluddin MPd
Kondisi stagnan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keistimewaan Aceh dalam bidang pendidikan akan kehilangan arah dan kepercayaan publik.
Padahal melalui kebijakan baru atas inisiatif DPRA melalui Qanun Nomor 7 Tahun 2022, kewenangan MPA telah diperluas dan sangat strategis seperti disebutkan dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu MPA mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan/atau rekomendasi terhadap penyusunan dokumen penganggaran pada SKPA/Biro yang melaksanakan urusan pemerintahan berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di Aceh.