Pendapatan Negara Seret, Ekonom: Kinerja APBN 2025 Era Prabowo Lebih Buruk dari Era Jokowi
Infoaceh.net – Realisasi pendapatan negara hingga semester I-2025 tercatat hanya sebesar Rp1.201,17 triliun atau 40 persen dari target APBN tahun ini yang ditetapkan sebesar Rp3.005,1 triliun.
Pemerintah bahkan memprediksi pendapatan hingga akhir tahun hanya akan mencapai Rp2.865,5 triliun atau sekitar 95,4 persen dari target.
Ekonom dari Bright Institute, Prof Awalil Rizky, menilai angka tersebut sangat memprihatinkan karena nyaris stagnan dibanding APBN 2024. “Outlook pendapatan negara 2025 hanya naik 0,05 persen.
Fenomena ini menunjukkan kecenderungan pelambatan yang berlanjut seperti di era Jokowi,” kata Awalil kepada wartawan, Selasa, 8 Juli 2025.
Ia mengingatkan, rasio pendapatan negara terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sebesar 12,03 persen, menjadikannya salah satu yang terendah dalam sejarah, kecuali pada masa pandemi 2020–2021.
Lebih rinci, Awalil menyebutkan bahwa penerimaan perpajakan—yang merupakan komponen utama pendapatan negara—baru mencapai Rp978,2 triliun atau 39,30 persen dari target Rp2.490,1 triliun.
“Outlook setahun hanya Rp2.387,28 triliun, artinya shortfall mencapai 4,2 persen. Bahkan untuk komponen pajak murni, shortfall mencapai 5,1 persen. Ini lebih buruk dari tahun lalu,” ungkapnya.
Rasio perpajakan terhadap PDB pun tercatat hanya 10,03 persen, lebih rendah dibanding tiga tahun sebelumnya. Padahal, Presiden Prabowo dalam kampanyenya menargetkan kenaikan rasio pajak secara bertahap, sebagaimana tercantum dalam RPJMN 2025–2029.
Tak hanya itu, pendapatan negara dari sektor bukan pajak (PNBP) pun terpantau melorot. Hingga pertengahan 2025, PNBP baru terkumpul Rp222,87 triliun atau 43,4 persen dari target tahunan sebesar Rp513,64 triliun. Pemerintah memproyeksikan realisasi akhir hanya Rp477,23 triliun, atau 92,9 persen dari target.
“PNBP diperkirakan turun 18,34 persen dibandingkan APBN 2024. Bahkan secara nominal, lebih rendah dari tahun 2022 dan 2023,” ujar Awalil.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menjelaskan bahwa penurunan pendapatan negara disebabkan oleh beberapa faktor: moderasi harga komoditas, terutama batu bara dan mineral; batalnya kenaikan PPN secara menyeluruh; dan berbagai insentif fiskal seperti stimulus UMKM, sektor padat karya, serta perumahan.
Namun, Awalil menilai penjelasan tersebut kurang transparan. “Paket stimulus semacam itu bukan hal baru. Pemerintah seharusnya jujur mengakui bahwa kondisi perekonomian nasional memang sedang melemah,” tegasnya.
Ia mendesak Kementerian Keuangan untuk tidak terus-menerus mencari alasan, melainkan mulai meninjau kembali strategi kebijakan fiskal di bawah pemerintahan saat ini.