Penetapan Zona Merah, Teror Baru Bagi Masyarakat Aceh
Ketua Komisi V DPRA, M. Rizal Falevi Kirani
Banda Aceh — Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengkritisi penetapan 9 kabupaten/kota di Aceh berstatus zona merah ancaman Coronavirus Disease (Covid-19), sebagai tindakan
terburu-buru yang akan menjadi teror baru bagi masyarakat di provinsi itu.
Pemerintah Aceh seharusnya tidak menelan mentah-mentah dan menerima keputusan Pemerintah Pusat soal penetapan zona merah di Aceh. Karena yang lebih mengetahui kondisi sebenarnya soal Aceh adalah kita sendiri, Pemerintah Aceh, bukan Pemerintah Pusat.
“Kami melihat langkah Pemerintah Aceh yang kemudian menerbitkan Surat Edaran (SE) Gubernur Aceh Nomor 4410/7810 tanggal 2 Juni 2020 tentang penetapan zona hijau dan zona merah terlalu terburu-buru tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan,” ujar Ketua Komisi V DPRA, M. Rizal Falevi Kirani, di Banda Aceh, Sabtu (6/6).
Menurutnya, SE itu tidak hanya menjadi teror baru di masyarakat, tetapi juga membingungkan, sekaligus menunjukkan betapa konyolnya kita.
“Kita dari legislatif, semua bingung dengan penetapan 9 kabupaten/kota sebagai zona merah Corona. Ini indikator yang digunakan apa? Kajiannya seperti apa sehingga ditetapkan sebagai zona merah dan diminta pembatasan aktivitas,” terangnya.
Seharusnya Pemerintah Aceh bisa bersikap kritis, dan tidak langsung menerima dan kemudian segera mengeluarkan surat edaran.
“Apalagi kita baca di media nasional, minggu depan Pemerintah Pusat akan mengumumkan kembali penetapan zonasi baru Corona. Kalau begini kan konyol. Hari ini keluarkan SE, minggu depan keluar SE baru lagi,” sebut Falevi Kirani.
Dijelaskannya, jika melihat data sebaran kasus Corona, Aceh merupakan provinsi yang terendah se-Indonesia. Karena itu Aceh kemudian ditetapkan sebagai zona hijau. Dengan kondisi demikian, Aceh seharusnya sudah mulai memasuki fase kehidupan new normal. Aktivitas masyarakat bergeliat kembali dan ekonomi bergerak lagi.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Plt Gubernur justru mengeluarkan SE yang justru membuat masyarakat takut beraktivitas. Ini bisa berakibat pada makin terpuruknya ekonomi masyarakat, setelah beberapa bulan ini mereka harus kehilangan sumber pendapatannya. Karenanya, Komisi V DPRA sangat menyayangkan langkah penerbitan SE itu.
“Menurut hemat kami, langkah yang penting dilakukan Pemerintah Aceh adalah memperketat pengawasan di setiap perbatasan pintu masuk Aceh. Baik di bandara, pelabuhan dan di perbatasan lintas darat,” jelas politisi Partai Nanggroe Aceh (PNA) ini.
Karenanya, belajar dari pengalaman ini, ketika Pemerintah Pusat nanti kembali menetapkan zona terbaru penyebaran Covid-19, DPRA berharap Pemerintah Aceh bisa lebih selektif.
“Jika memang ragu, ajak kami di DPRA untuk berdiskusi. Kami siap memberi masukan yang membangun,” pungkasnya. (IA)