Banda Aceh — Menyikapi kondisi dan situasi kekinian Aceh pasca 15 tahun perjanjian damai MoU Helsinki, sekelompok pemuda menamakan diri Aneuk Muda Menggugat melakukan aksi mogok makan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakat Aceh (DPRA), Senin (30/11).
Sejumlah aparat keamanan dari Polresta Banda Aceh terlihat mengawal aksi yang dilakukan oleh para pemuda tersebut.
Kapolresta Banda Aceh Kombes Pol Trisno Riyanto, melalui Kapolsek Kuta Alam, Iptu Muchtar Chalis, mengatakan, dalam melakukan aksi tentunya harus melakukan koordinasi terlebih dahulu pada Pelayanan Sat Intelkam Polresta Banda Aceh.
“Para pengunjuk rasa hari ini telah melakukan koordinasi dengan pelayanan Sat intelkam, namun belum dikeluarkannya Surat Tanda Terima Pemberitahuan karena masih dalam Pandemi Covid -19” terang Kapolsek Kuta Alam.
Kemudian lanjutnya, dalam aksi Aneuk Muda Menggugat ini, massa telah mengikuti protokol kesehatan, dimana telah menggunakan masker, menjaga jarak serta telah mencuci tangan sebelum melakukan aksi.
Koordinator aksi Ikhsan Kelda mengatakan, aksi mogok makan ini dilakukan untuk menyikapi Refleksi 15 tahun Perjanjian Damai MoU Helsinki.
“Aksi mogok makan ini akan kami lakukan sampai usulan yang kami sampaikan kepada anggota DPRA dipenuhi, dan apabila belum terpenuhi, makan aksi ini akan berlanjut kembali,” tutur Ikhsan Kelda.
Dalam menyikapi kondisi dan situasi perjanjian damai Aceh, ia menilai masih banyak permasalahan mendasar yang belum selesai dan mestinya mendapat perhatian serius dari para pihak untuk menuntaskan segala sesuatu yang menyangkut masa depan Aceh.
“Jadi kami menuntut, keinginan yang kami sampaikan dipenuhi oleh pihak DPRA diantaranya pihak RI menepati janji dan menyelesaikan poin poin MoU Helsinki dan menuntut agar pimpinan GAM tidak abai juga berpangku tangan akan situasi Aceh yang semakin lama, semakin jauh dari kesepakatan MoU Helsinki.
Anggota dewan harus memenuhi hak sipil dimana masih ada warga yang belum terpenuhi haknya pasca konflik, kemudian hak para kombatan yang terabaikan, penyelesaian pelanggaran HAM yang belum terselesaikan serta dana Otonomi Khusus untuk mengejar ketinggalan pasca konflik bersenjata pun tidak maksimal dimana Aceh masih menjadi salah satu daerah termiskin di Sumatera khususnya dan Indonesia pada umumnya,” tutur Ikhsan lagi.
Kemudian lanjutnya, pengkhianatan akan perjanjian pembagian hasil bumi antara 70 % – 30 %, perbatasan antara Aceh dan Sumut yang merujuk pada Perbatasan 1 Juli 1956.
“Di akhir tuntutan kami, indentitas Aceh, UUPA, bahwa berdasarkan point 1.1.5 dalam MoU Helsinki Aceh memiliki hak menggunakan simbol simbol wilayah termasuk bendera, lambang, yakni di pasal 246 dan 247,” pungkas Korlap Ikhsan. (IA)