BANDA ACEH — Aceh Resource and Development (ARD) menggelar diskusi dalam rangka menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan RI dengan tema “Puleh Beu Bagah, Beudoh Leubeh Koeng” (Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat Saatnya Pemuda dan Milenial Aceh Bangkit Pasca Pandemi dan Mengejar Ketinggalan).
Diskusi ini berlangsung di Hotel Kyriad Muraya Banda Aceh, Sabtu (13/8/2022).
Adapun pemateri dalam diskusi ini Prof Gunawan Adnan PhD selaku Guru Besar dan Wakil Rektor I UIN Ar Raniry, M Rizal Falevi Kirani (Ketua Komisi V DPRA), Bustami (Wakil Ketua GP Anshor Aceh), Muhammad Joni, Pembina Jaringan Anak Syuhada Aceh, dipandu moderator Ryan Abdillah.
Prof Gunawan Adnan mengatakan, pandemi Covid yang terjadi di Indonesia bahkan negara lain di dunia merupakan musibah yang sangat luar biasa. Dimana pandemi itu telah mengganggu kestabilan ekonomi, politik global hingga pendidikan.
“Saya rasa tema ini sangat cocok bagaimana kita pulih lebih cepat dan tumbuh lebih kuat. Bagaimana pandemi menimpa kita sehingga ada kondisi yang tidak menyenangkan yang menyulitkan kita semua,” kata Prof Gunawan.
Ia menyampaikan, ada hikmah yang sangat luar biasa dari pandemi, sehingga banyak orang lebih tahu dan menguasai teknologi informasi yang kini sangat mudah diakses.
Prof Gunawan menjelaskan, para generasi muda Aceh jangan menjadikan pandemi sebagai alasan untuk bermalas-malasan. Namun sebaliknya, jadikan motivasi untuk bangkit lebih cepat dan berkarya secara cermat.
“Justru menurut saya kita harus menjadikan kondisi ini harus kita olah menggunakan semua olah pikir kita, semua potensi yang ada pada kita untuk kemudian kita bangkit bersama-sama menghadapi tantangan global,” ujarnya.
Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani, menyebutkan generasi Aceh sangat mudah untuk bangkit. Pasalnya, sebelum pandemi melanda, Aceh pernah merasakan terjadinya degradasi terhadap konflik yang berkepanjangan.
“Artinya 30 tahun kita dilanda konflik ternyata juga pemuda-pemuda Aceh cepat bangkit melakukan emansipasi kemudian elaborasi dengan konten hari ini,” ujar Falevi Kirani.
Falevi menilai, di era 4.0 ini merupakan momentum bagi anak muda Aceh harus kreatif dan tak takut bersaing dengan anak muda yang ada di luar Aceh. Kapasitas dan kapabilitas pemuda Aceh bukan sebuah hal yang diragukan.
“Tetapi secara substansi keilmuan dan secara substansi kapasitasnya juga anak-anak Aceh bisa bersaing baik level nasional maupun internasional. Artinya sesuatu hal itu tidak ada yang tidak mungkin dilakukan,” ungkapnya.
Politisi Partai Naggroe Aceh (PNA) ini menyebutkan, perkembangan digitalisasi dan informatika kini menjadi sebuah kewajiban dan keharusan bagi pemuda Aceh untuk mempelajari dan memiliki itu. Bagaimana pemuda yang sukses itu menguasai teknologi, bukan teknologi yang menguasai pemuda.
“Memanfaatkan teknologi ini yang dikemas dengan sangat bagus bisa melakukan promosi secara digital. Lalu digitalisasi itu menjadi ekonomi kreatif bagi anak-anak muda Aceh. Sehingga anak muda ini satu HP bisa melahirkan berbagai karya yang dimiliki. Ini yang harus kita tempah, dan saya pikir kita orang Aceh dan anak muda Aceh tidak bodoh-bodoh amat,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu Wakil Ketua GP Anshor Aceh Bustami, memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi pemuda Aceh. Berbicara pemuda, kata dia, lahirnya bangsa Indonesia tak terlepas dari keterlibatan pemuda dalam mendirikan NKRI.
Ia melihat, tantangan pemuda hari ini salah satunya maraknya radikalisme dan terorisme yang menjadi persoalan baru. Sehingga dibutuhkan kontribusi pemuda Aceh untuk mencegah hal-hal yang seperti ini.
Menurut Bustami, jika radikalisme ini tidak dicegah maka akan terjadi perpecahan. Sebab, radikalisme tidak hanya bicara soal agama tetapi juga bicara soal kelompok dan antar organisasi masyarakat (Ormas).
“Kita khawatir kalau radikalisme ini tidak dicegah itu akan berefek kepada ketidakharmonisan antar OKP,” katanya.
Selain itu, maraknya peredaran narkoba juga menjadi ancaman bagi generasi penerus Aceh. Pemuda mesti menjadi garda terdepan dalam proses pencegahan mapun pemberantasan narkoba tersebut.
Ia menambahkan, lapangan pekerjaan juga menjadi tantangan bagi pemuda Aceh. Ia mengatakan, pemerintah perlu hadir untuk membuka lapangan pekerjaan bagi anak-anak muda, sehingga mereka punya kesempatan dan peluang kerja seperti yang lainnya.
“Tanpa ada lapangan kerja, anak muda juga tidak terarah dan menjadi persoalan baru bagi Aceh. Karena itu saya sangat berharap di pemerintah, kita mendorong agar lapangan kerja itu terbuka luas bagi pemuda Aceh,” katanya yang juga Komisioner KKR Aceh.
Sementara itu, Pembina Jaringan Anak Syuhada Aceh (JASA) Muhammad Joni, menyampaikan ada banyak keluhan yang ingin disampaikan kepada pemerintah pusat. Menurutnya, hampir 17 tahun Aceh damai, implementasi dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) belum sepenuhnya berjalan maksimal.
“Dengan berakhirnya konflik yang panjang dan perjanjian MoU Helsinki, kami punya harapan baru, bagaimana kami menginginkan putra putri Aceh ke depan jangan lagi merasakan apa yang kami rasakan selama ini,” kata Joni.
Joni menjelaskan, Aceh sudah banyak mengukir sejarah. Menurutya, sejarah terakhir yang tercipta di Aceh adalah mewujudkan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI.
Akan tetapi, lanjut dia, hingga hari ini butir-butir perjanjian itu sendiri masih jauh dari harapan seluruh rakyat Aceh.
Oleh karena itu, Joni berharap, pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap perjanjian MoU Helsinki itu semestinya segera direalisasikan di Aceh.
“Kalau itu tidak terealisasi, maka kita khawatirkan ke depan nanti akan banyak lagi lahir anak-anak syuhada Aceh seperti kami atau anak-anaka korban konflik seperti kami. Itu semua sangat tidak kita inginkan,” pungkasnya.
Di akhir sesi diskusi, muncul beberapa rekomendasi dari seluruh peserta dan narasumber terkait impelentasi UUPA yang harus dikawal oleh semua pihak di Aceh.
Selain itu, peserta juga merekomendasikan kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk meminta Bank Aceh Syariah agar menyalurkan pembiayaan untuk para pelaku UMKM di Aceh. (IA)