Rektor USK Ingatkan Sengketa Empat Pulau Bisa Picu Konflik Horizontal Aceh–Sumut
Banda Aceh, Infoaceh.net — Sengketa empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) yang terus memanas dan berpotensi memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat kedua provinsi.
Rektor Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Prof Dr Ir Marwan secara tegas memperingatkan bahwa alih status Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Ketek yang berada di Kabupaten Aceh Singkil, kini masuk ke wilayah Sumut bukan hanya persoalan administratif, tetapi bisa menjadi api dalam sekam.
Secara sosiologis, situasi ini berisiko menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat yang berada di wilayah perbatasan.
Kecurigaan, prasangka, hingga potensi segregasi sosial antara komunitas Aceh dan Sumatera Utara dapat menciptakan keretakan hubungan sosial, baik di wilayah sengketa maupun di daerah lain yang memiliki ikatan dengan wilayah tersebut.
“Kalau tidak diselesaikan dengan cara yang adil dan bermartabat, ini bisa berkembang menjadi konflik horizontal antarkomunitas di wilayah perbatasan Aceh dan Sumut,” tegas Prof Marwan, dalam keterangannya, Jum’at (13/6/2025).
Menurutnya, pernyataan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan siap menghadapi gugatan Pemerintah Aceh justru memperkeruh situasi.
Ia menilai pendekatan sepihak hanya akan memperbesar ketegangan, memperdalam kecurigaan antarwilayah, dan merusak hubungan sosial yang selama ini terjalin di masyarakat perbatasan.
“Jangan abaikan aspek sosiologisnya. Di balik peta, ada masyarakat yang punya identitas, sejarah, dan keterikatan emosional dengan tanahnya. Sengketa ini bisa memicu segregasi sosial jika tidak ditangani serius,” tegasnya.
Rektor USK juga menyoroti pentingnya merujuk pada Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 dalam menyelesaikan sengketa ini. Ia menilai, pemaksaan klaim tanpa dialog terbuka berisiko menurunkan legitimasi pemerintah pusat di mata rakyat Aceh.
“Ini bukan hanya tentang siapa yang mengelola, tapi menyangkut harga diri dan hak masyarakat Aceh yang dijamin secara hukum dan sejarah,” ungkapnya.