Rumoh Geudong, Sejarah Kekejaman DOM yang Dihilangkan
Alih-alih menjadi situs pengingat dan edukasi, bekas rumah itu dibiarkan tak terawat, berpeluang tahun, bahkan sempat dijadikan fasilitas umum biasa tanpa penanda sejarah.
Aktivis HAM, mahasiswa, hingga keluarga korban berulang kali meminta agar Rumoh Geudong dijadikan situs memorial, seperti halnya tempat-tempat serupa di negara lain yang menjunjung tinggi rekonsiliasi dan keadilan transisional.
Pada berbagai kesempatan, para penyintas masih menyuarakan harapan agar kebenaran diungkap dan negara mengakui kesalahan masa lalu. Mereka tidak hanya meminta kompensasi, tetapi lebih dari itu: pengakuan, permintaan maaf resmi, dan jaminan bahwa kekejaman serupa tidak akan terulang.
“Rumoh Geudong bukan hanya tentang masa lalu. Ini tentang bagaimana negara memperlakukan warganya, tentang luka yang belum sembuh, dan tentang kebenaran yang belum terucap,” ujar seorang aktivis lokal Aceh,
Seiring peringatan peristiwa penting di Aceh, suara-suara untuk membuka kembali kasus Rumoh Geudong semakin nyaring. Pemerintah pusat dan daerah dituntut untuk serius dalam menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu sebagai bagian dari komitmen terhadap perdamaian Aceh yang adil dan bermartabat.
Sejarah bisa dihancurkan secara fisik, tapi tidak bisa dihapus dari ingatan. Rumoh Geudong adalah bukti bahwa luka masa lalu harus dihadapi, bukan dilupakan.
Rumoh Geudong dari tempat penyiksaan berubah menjadi Memorial Living Park
Sebuah babak baru dalam sejarah kelam Aceh dimulai Kamis, 10 Juli 2025. Di atas tanah bekas Rumoh Geudong—tempat yang pernah menyimpan kisah penyiksaan dan penderitaan di masa konflik—kini berdiri Memorial Living Park, taman pemulihan yang diresmikan pemerintah sebagai simbol pengakuan, rekonsiliasi, dan harapan.
Peresmian itu menjadi bagian dari pelaksanaan Instruksi Presiden No 2 Tahun 2023 tentang Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat. Hadir dalam acara tersebut Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, Wamen HAM Mugiyanto, Wakil Gubernur Aceh Fadhlullah, dan Wamen PUPR Diana Kusumastuti.