Rumoh Geudong, Sejarah Kekejaman DOM yang Dihilangkan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna menyoroti peresmian Memorial Living Park Rumoh Geudong di Pidie, oleh Kementerian HAM.
Husna mengatakan, pembangunan ini harus dibarengi upaya memberikan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM berat di Rumoh Geudong. Menurutnya, peresmian Memorial Living Park Rumoh Geudong tidak boleh melupakan aspek penyelesaian yudisial.
“Jadi dia tidak menegasikan aspek yudisial. Artinya temuan tulang-belulang di Rumoh Geudong pada bulan Maret 2024 harusnya segera ditindaklanjuti, karena jika langsung dibuka, dan itu tidak ada upaya mengamankan alat bukti, dikhawatirkan terjadi perusakan alat bukti,” kata Azharul Husna.
“Padahal seperti yang kita ketahui, ada pelanggaran HAM berat di sana, dan seperti yang kita ketahui juga, sudah ditetapkan juga oleh Komnas HAM, sehingga memang ini bisa jadi alat bukti yang membawa kasus ini ke proses pengadilan,” imbuhnya.
Selain itu, kata Husna, perlu diperhatikan pula terkait pengelolaan Rumoh Geudong. Menurutnya, proses pembentukan Memorial Living Park tidak melibatkan partisipasi bermakna dari korban.
“Kemudian juga pembentukan memorial living park yang mungkin tidak seperti yang dibayangkan, itu juga jadi satu hal tersendiri. Tapi pengelolaan itu penting untuk didiskusikan, dan pemerintah pusat itu perlu mengambil tanggung jawab terkait tempat ini,” tutur Husna.
“Karena Memorial Living Park Rumoh Geudong ini tidak hanya bicara soal Rumoh Geudong tetapi juga Pos Sattis lainnya, dan dia adalah model untuk nasional,” tambahnya.
Memorial Living Park bukan hanya soal mengenang masa lalu. Ia adalah janji, bahwa negara hadir bukan untuk melupakan, tapi untuk belajar, memperbaiki, dan mencegah pengulangan.
“Semoga taman ini menjadi pengingat abadi: bahwa pelanggaran HAM berat tak boleh lagi terjadi di bumi Indonesia,” pungkas Wamen HAM Mugiyanto.