Tradisi Meugang Diwarnai Jeritan Tenaga Kebersihan yang Terabaikan
Infoaceh.net, Sabang – Kota Sabang kini dihadapkan pada ancaman krisis kebersihan. Sampah sisa Meugang, yang seharusnya menjadi saksi kemeriahan tradisi sakral di Aceh, justru berpotensi menumpuk dan mencemari sudut-sudut kota.
Di balik aroma daging yang dimasak di rumah-rumah, menguar bau tak sedap dari jalanan yang mulai dipenuhi sampah. Semua ini berakar dari mogok kerja ratusan tenaga kebersihan yang merasa hak mereka diabaikan.
Sejak Kamis (27/02/2025), sebanyak 133 Tenaga Harian Lepas (THL) dan 9 tenaga honorer di bawah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Sabang memilih menghentikan sapu dan pengangkutannya. Bukan karena enggan bekerja, tetapi karena perut yang harus diisi dan janji yang tak kunjung ditepati.
Seorang tenaga kebersihan yang enggan disebut namanya mengungkapkan bahwa setiap bulan, mereka semestinya menerima gaji pada tanggal 10. Namun, Februari ini penuh dengan janji yang menguap begitu saja. “Dijanjikan cair tanggal 20, tak kunjung ada. Lalu dibilang tanggal 25, pun tak ada kepastian. Kami sudah lelah menunggu,” keluhnya kepada wartawan, Jumat (28/02/2025).
Hari-hari berlalu, dan mereka yang biasa berjuang membersihkan kota kini berdiam diri, menunggu kejelasan yang tak kunjung tiba. S
Sementara itu, sampah mulai menggunung, menciptakan pemandangan suram di sudut-sudut kota yang biasanya bersih. Plastik sisa belanja Meugang, potongan daging yang tak terpakai, dan sampah rumah tangga lainnya berserakan, menebarkan bau tak sedap yang menusuk hidung.
Aksi mogok ini bukanlah pilihan mudah. Di tengah persiapan Meugang, di mana dapur setiap rumah bergantung pada penghasilan, mereka justru dihadapkan pada kekosongan kantong.
“Kami punya keluarga yang harus makan. Jangan biarkan kami kelaparan, sementara kota ini bersih karena kerja keras kami!” tegasnya, mencerminkan getirnya perjuangan mereka.
Bagi masyarakat Aceh, Meugang bukan sekadar tradisi, melainkan simbol kehormatan dan kebersamaan. Namun, bagaimana mungkin mereka menikmati hidangan lezat jika di luar rumah, tumpukan sampah mengancam kesehatan. Bagaimana mungkin mereka merayakan hari istimewa jika para penyapu jalan yang setia menjaga kebersihan kota justru harus berjuang untuk sesuap nasi.
Kekhawatiran pun melanda masyarakat. Meugang yang seharusnya menjadi perayaan kini terancam oleh bau busuk sampah yang menumpuk. Jika tak segera ditangani, bukan hanya pemandangan yang tercemar, tetapi juga kesehatan warga yang dipertaruhkan.
Sementara itu, Kepala DLH Kota Sabang, Faisal, mengakui bahwa aksi mogok ini bermula dari keterlambatan pembayaran gaji.
“Kami sedang berproses. Ada pergeseran anggaran yang membutuhkan persetujuan dari provinsi. Bukan berarti kami enggan membayar,” jelasnya, seraya menargetkan pencairan dalam satu minggu ke depan.
Meski demikian, upaya darurat tetap dilakukan. Dari total 11 armada pengangkut sampah, kini hanya empat yang beroperasi, dijalankan oleh pegawai negeri di DLH. “Kami kekurangan personel, tapi tetap berusaha menjaga kebersihan kota,” tambahnya.
Di balik segala upaya tersebut, persoalan utama tetap belum terselesaikan. Hak para pekerja masih menggantung di udara, seolah menjadi janji yang terbang dan lenyap begitu saja. Pemerintah terus beralasan, sementara tenaga kebersihan terus bertahan dalam ketidakpastian.
Di tengah gejolak ini, satu pertanyaan besar menggantung di udara: Sampai kapan tenaga kebersihan harus terus berjuang untuk hak yang seharusnya sudah menjadi milik mereka? Sementara mereka berteriak dalam diam, tumpukan sampah dan aroma busuk Meugang mulai menjawabnya.