BIREUEN – 114 pengungsi Rohingya dilaporkan diusir oleh warga Desa Alue Buya Pasie, Kecamatan Jangka, Bireuen, setelah lebih 14 hari ditempatkan di tenda penampungan sementara dan meunasah.
Untuk itu, Yayasan Geutanyoe mendesak pemerintah daerah segera merelokasi 114 pengungsi Rohingya tersebut dari Kabupaten Bireuen ke tempat penampungan yang layak.
Sebelumnya, para pengungsi tiba di desa tersebut pada 6 Maret 2022. Semula, 114 pengungsi tersebut rencananya akan dipindahkan ke BLK Lhokseumawe setelah 5 hari menjalani proses pemeriksaan kesehatan dan screening test Covid-19. Namun sampai hari ini pemindahan tersebut tidak pernah terjadi.
Para pengungsi yang berada di tenda sementara terpaksa berhadapan dengan hujan deras, banjir, dan penyakit yang semakin memperburuk kondisi mereka.
Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (Satgas PPLN) telah mengeluarkan surat rekomendasi pada 8 dan 16 Maret 2022, untuk memindahkan para pengungsi yang berada di Kabupaten Bireuen dan Lhokseumawe ke Pekanbaru. Namun sampai hari ini pemindahan belum dilakukan.
Sayangnya, lambatnya proses pemindahan tersebut berdampak sangat buruk bagi 114 orang pengungsi Rohingya di Bireuen. Bukan hanya mereka harus berhadapan dengan cuaca buruk, tetapi juga potensi terjadi gesekan dengan masyarakat di sekitar area penampungan.
“Hari ini, Minggu, 20 Maret 2022, pukul 11.30 Wib, Kepala Desa Alue Buya Pasie didampingi pemuda desa setempat secara resmi mengusir 114 pengungsi asal Rohingya keluar dari desa. Mereka kecewa dengan ketidakpastian tindakan pemerintah terhadap para pengungsi, sedangkan masyarakat sehari-hari harus berurusan dengan para pengungsi,” kata Reza Maulana, Head of Jakarta Office Geutanyoe Foundation, dalam keterangannya tertulisnya, Minggu (20/3) sore.
Dengan didampingi tim Yayasan Geutanyoe, IOM, UNHCR, Polri, dan TNI, para pengungsi kemudian keluar dari desa dan berada di pinggir jalan untuk menunggu tindakan berikutnya. “Pemerintah mulai dari tingkat kecamatan sampai di tingkat provinsi belum ada satupun yang merespon kondisi ini”.
Yayasan Geutanyoe sangat menyayangkan konflik dan pengusiran ini terjadi, serta lambatnya respon dan lemahnya political will dari pemerintah daerah semakin memperburuk keadaan.
Setelah pengusiran terjadi, kelompok pengungsi semakin tidak jelas akan ditempatkan di mana, dan berpotensi berkonflik dengan siapa saja yang berada di dekat mereka.
Di sisi lain, para pengungsi menjadi sangat rentan terhadap aksi kejahatan, kekerasan, memburuknya kondisi kesehatan, bahkan kecelakaan yang bisa terjadi kapan saja.
“Hal yang paling buruk justru dialami oleh perempuan dan anak-anak. Mereka menjadi kelompok yang paling dirugikan dari peristiwa ini,” ungkap Reza Maulana.
Oleh karena itu, Yayasan Geutanyoe mendesak pemerintah daerah segera merelokasi 114 pengungsi dari Kabupaten Bireuen ke tempat yang layak, sebelum dipindahkan sesuai dengan perintah dari Satgas PPLN.
Yayasan Geutanyoe meminta Pemerintah Aceh mengkoordinir dan mengawal proses penempatan sementara pengungsi, serta membantu proses pemindahan ke Pekanbaru sesuai dengan surat arahan Satgas PPLN.
Pemerintah Aceh bersama Pemerintah Kabupaten Bireuen juga diminta membangun komunikasi dengan Desa Alue Buya Pasie untuk menjamin tidak terjadinya konflik dan resistensi di kemudian hari.
“Mendesak Pemerintah Aceh untuk segera melahirkan regulasi tentang penanganan pengungsi luar negeri di tingkat provinsi melalui qanun,” harap Reza. (IA)