BANDA ACEH — Persentase angka kemiskinan di Provinsi Aceh pada tahun 2023 masih di atas 14 persen dan menjadi yang tertinggi di pulau Sumatera.
Padahal anggaran di Aceh relatif sangat besar dibandingkan provinsi lainnya di Indonesia.
Bahkan Pemerintah Pusat sejak tahun 2008 hingga 2023 sudah mengucurkan alokasi dana otonomi khusus (Otsus) Aceh sudah lebih dari Rp 103 triliun.
“Hal ini menunjukkan bahwa selama ini pengelolaan dana Otsus salah urus, sehingga hanya dinikmati segelintir orang dan tak menyentuh secara maksimal kebutuhan rakyat Aceh,” ungkap Ketua DPD Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Banda Aceh MusraYusuf, Ahad, 19 November 2023.
Menurutnya, dapat dikatakan bahwa dampak dari kesalahan dalam pengelolaan dana Otsus ini secara langsung berpengaruh terhadap masih tingginya angka kemiskinan di Bumi Serambi Mekkah ini.
Dia memaparkan, pemanfaatan Dana Otsus Aceh seyogyanya ditujukan untuk pembiayaan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.
“Jadi anggaran Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) itu sumbernya dari dana Otsus, anggaran Pokir dewan itu dominan juga bersumber dari otsus. Sehingga dapat dikatakan jika anggaran Pokir kembali membengkak pada tahun 2024 maka anggaran untuk JKA akan kembali terancam,” ujarnya.
Musra Yusuf menjelaskan, setelah alokasi dana Otsus Aceh yang sebelumnya 2% berkurang menjadi 1% dihitung dari plafon DAU nasional, maka perencanaan skala prioritas harus lebih diperhatikan, agar benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat.
Tercatat pada tahun 2023 alokasi Otsus Aceh hanya tinggal Rp 3,9 triliun dan pada tahun anggaran 2024, alokasi dana Otsus kembali turun menjadi Rp 3,3 triliun.
“Sementara, pada tahun anggaran 2023 itu tercatat alokasi anggaran pokok pikiran (Pokir) DPRA sangat fantastis mencapai Rp 1,6 triliun, sehingga setelah dilakukan pembagian dana Otsus 60:40 dengan pemerintah kabupaten/kota, sisa anggarannya sudah sangat kecil dan tak lagi mampu mengakomodir kebutuhan pembayaran JKA kepada pihak BPJS Kesehatan.
Dampaknya program pelayanan kesehatan gratis rakyat Aceh melalui JKA nyaris dihentikan oleh BPJS karena menunggak lebih dari Rp 700 miliar,” paparnya.
Kata Yusuf, jika melihat proyeksi dana Otsus Aceh pada tahun 2024 yang kembali turun menjadi Rp 3,3 Triliun, sementara sisa tunggakan yang harus diupayakan dibayar melalui APBA murni 2024 Rp 486 miliar dan untuk pelaksanaan JKA 2024 juga membutuhkan anggaran mencapai Rp 1 triliun.
Maka Pj Gubernur Aceh harus berani memangkas secara maksimal alokasi dana pokir dewan.
“Jika kita berkaca pada usulan Pokir DPRA pada tahun anggaran 2023 justru terlihat jelas banyak terdapat di luar daerah pemilihannya, sehingga semakin jelas banyak anggaran pokir selama ini itu tidak tepat sasaran.
“Jika dilihat dari kegiatan yang masuk APBA 2023 hanya 20 persen yang menyentuh langsung kepada keinginan masyarakat, selebihnya 80 persen kegiatan Pokir masuk pada kegiatan reguler dinas masing-masing, menunjukkan itu diluar dari usulan masyarakat. Pokir seharusnya diterima saat anggota dewan melakukan Reses ke Dapil masing-masing.
Nyatanya kita lihat tidak semua hasil Reses yang dimasukkan pada kegiatan usulan Pokir dewan,” bebernya. (IA)