Dua First Lady Aceh: Antara Kak Ana dan Bunda Salma, Siapa Paling Berpengaruh?
Dalam banyak momen publik maupun dewan, Bunda Salma tampil sebagai politisi yang aspiratif, berwawasan, dan berani menyuarakan hal-hal krusial, termasuk yang menyangkut isu perempuan dan ketimpangan pembangunan.
Ia tidak tampil sebagai istri pejabat semata, tetapi sebagai pemimpin perempuan yang punya otonomi berpikir dan bertindak. Bunda Salma juga dikenal aktif membangun komunikasi dengan konstituennya, sering turun ke lapangan, menyerap aspirasi rakyat, dan menyuarakannya dalam forum-forum resmi legislatif.
Bagi sebagian orang, Bunda Salma bahkan dianggap lebih dari sekadar First Lady—ia adalah figur perempuan mandiri yang berhasil menembus panggung politik, menginspirasi perempuan Aceh untuk tidak hanya berperan di belakang, tapi juga berdiri di garis depan perubahan.
Pengaruhnya melampaui batas rumah tangga, menjadikan dirinya sebagai salah satu politisi perempuan paling disorot di Aceh saat ini.
Kehadiran dua istri sah dalam kehidupan seorang kepala daerah, terlebih ketika keduanya aktif secara publik dan berkontribusi nyata, tentu bukan hal yang umum di Indonesia.
Namun, di Aceh—sebagai satu-satunya provinsi dengan otonomi syariat Islam—realitas ini bisa diterima secara hukum dan budaya, selama dijalankan dengan adab, keadilan, dan transparansi.
Mualem sendiri tidak pernah menutupi realitas rumah tangganya. Bahkan, keduanya kerap tampil bersama dalam acara formal maupun publik, menunjukkan harmoni dan keseimbangan peran.
Ini menjadi cermin bahwa dalam adat Aceh, poligami bukan semata-mata soal relasi suami-istri, tetapi juga soal bagaimana setiap pihak menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan profesional dan berintegritas.
Bersaing atau Beriringan?
Meski banyak yang mengira dua istri dalam satu panggung akan berkompetisi, namun hingga kini publik tidak pernah melihat tanda-tanda rivalitas antara Kak Ana dan Bunda Salma.
Keduanya bergerak dalam bidang yang berbeda, dengan gaya yang berbeda, dan fokus pada pengabdian sesuai kapasitas masing-masing.
Bagi rakyat Aceh, ini bukan persoalan “siapa istri utama” atau “siapa lebih berpengaruh,” melainkan tentang bagaimana keduanya—dalam kapasitas sebagai pemimpin sosial dan politisi—ikut serta membangun negeri.