Guru Besar USK Prof Husni Jalil: Yusril Abaikan MoU Helsinki, Pemerintah Pusat Khianati Komitmen Damai
Banda Aceh, Infoaceh.net — Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh Prof Dr Husni Jalil, SH MH menilai pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, terkait polemik empat pulau di Aceh Singkil mengabaikan substansi penting dalam perdamaian Aceh yang tertuang dalam MoU Helsinki.
“Kalau saya amati, pendapat Pak Yusril sangat normatif dan cenderung mengabaikan keberadaan MoU Helsinki. Padahal, MoU ini adalah komitmen politik bersama untuk menyelesaikan konflik Aceh yang telah berlangsung lama.
Jika komitmen ini tidak dijadikan pegangan, berarti pemerintah pusat mengkhianati perjanjian damai itu,” kata Prof. Husni, dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).
Menurutnya, MoU Helsinki bukan hanya simbol perdamaian, tapi juga menjadi fondasi bagi penataan ulang hubungan Aceh dan pemerintah pusat, termasuk menyangkut batas wilayah dan kewenangan daerah.
Ia menyayangkan jika para pejabat pusat, apalagi sekelas Menko Kumham-Imipas, tidak menjadikannya sebagai rujukan dalam membuat pernyataan maupun kebijakan.
“Pernyataan normatif tanpa mempertimbangkan konteks sejarah dan politik lokal bisa memicu kekecewaan masyarakat Aceh. Kita harus jujur melihat fakta bahwa keempat pulau yang kini menjadi polemik memang sejak lama merupakan bagian dari Aceh,” ujar Prof Husni.
Ia merujuk pada sejumlah bukti sejarah yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut sudah menjadi wilayah Aceh sejak masa Hindia Belanda, sebelum Indonesia merdeka.
Bahkan, menurutnya, ada kesepakatan resmi tahun 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hassn dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar yang disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini, yang menyatakan bahwa wilayah tersebut adalah milik Aceh.
“Bukti-bukti sejarah bahkan bisa dilihat di arsip Perpustakaan Leiden di Belanda, yang beberapa hari lalu juga ditayangkan di YouTube. Semua mengarah pada fakta bahwa wilayah itu adalah bagian dari Aceh,” tegasnya.
Lebih lanjut, Prof. Husni menyoroti aspek hukum terkait perubahan batas wilayah yang menurutnya tidak bisa hanya berdasarkan keputusan Menteri Dalam Negeri.