Sejumlah Anggota dan pimpinan DPRA memperlihatkan dokumen usulan penggunaan hak interpelasi terhadap Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah
Banda Aceh — Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah menjadwalkan rapat paripurna dengan agenda penggunaan hak interpelasi dewan terhadap Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada Jum’at (25/09/2020) siang.
Rapat paripurna tersebut akan digelar di Gedung Utama DPR Aceh di Jalan Tgk. Mohd. Daud Beureu’eh Kota Banda Aceh yang berlangsung sekitar pukul 14.30 WIB sampai dengan selesai.
Informasi tersebut disampaikan Ketua DPRA, H. Dahlan Jamaluddin SIP, dalam undangan pemberitahuan yang dikirimkan kepada awak media di Banda Aceh, Rabu (23/09/2020) siang.
Menurut Dahlan, dalam rapat paripurna DPRA tersebut nantinya berisi penyampaian jawaban atas tanggapan Gubernur Aceh tentang penggunaan hak interpelasi atau hak bertanya terhadap sejumlah kebijakan Pemerintah Aceh selama ini yang tidak diketahui oleh anggota dewan setempat.
“Insya Allah, kita sudah agendakan rapat paripurna penggunaan hak interpelasi terhadap Plt. Gubernur pada Jum’at lusa,” ujar Dahlan Jamaluddin.
Sebelumnya, dokumen usulan penggunaan hak interpelasi yang diserahkan ke pimpinan DPRA sudah ditandatangani oleh 58 anggota DPRA dari enam fraksi, plus satu orang dari Fraksi PKB-PDA.
Enam dari sembilan fraksi di DPRA yang anggotanya ikut menandatangani penggunaan hak interpelasi tersebut adalah Fraksi Partai Aceh, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Gerindra, Fraksi PNA, Fraksi PAN, dan Fraksi PKS.
Sementara tiga fraksi yang anggotanya tidak menandatanganinya yakni Fraksi Partai Demokrat, PPP dan PKB-Partai Daerah Aceh (PDA). Meski demikian, seorang anggota DPRA dari PDA Wahyu Wahab Usman ikut menekennya juga
Juru bicara inisiator hak interpelasi DPRA, Irpannusir Rasmsb dari Fraksi PAN menyampaikan dasar pemikiran pengajuan hak interpelasi.
Menurut Ketua Komisi II DPR Aceh ini, hak interpelasi diajukan sedikitnya oleh 15 anggota dewan dan lebih dari satu fraksi. Usulan itu kemudian harus disetujui oleh setengah dari jumlah anggota DPRA yang hadir.
“Untuk itu, dalam rangka meminta keterangan terhadap beberapa kebijakan Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur) yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat. Maka DPR Aceh memandang perlu untuk menggunakan hak interpelasi,” ungkap Irpannusir.
Irpan juga mengatakan ada 58 orang dari 81 anggota DPRA periode 2019-2024 yang ikut menandatangani usulan hak interpelasi tersebut.
Inisiator pengusul hak interpelasi, Irpannusir juga membacakan beberapa alasan mendasar DPRA menggunakan hak interpelasi terhadap kebijakan-kebijakan Plt. Gubernur Aceh yang bernilai penting dan strategis, serta berdampak luas kepada kehidupan bermasyarakat.
Seperti refocusing Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun 2020 diperkirakan sebesar Rp 1,7 triliun sampai Rp 2,3 triliun terkait penanganan pandemi Covid-19 tidak disampaikan rincian kegiatan dan besaran anggaran kepada DPR Aceh.
Selain itu, kebijakan Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur Aceh) tentang pemasangan stiker pemakaian premium dan solar bersubsidi pada mobil sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor 504/9186 Tahun 2020 tentang stiker BBM bersubsidi telah membebani dan meresahkan masyarakat. Sebagaimana ketentuan Pasal 4 huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selanjutnya, kebijakan Gebrak Masker Pemerintah Aceh tidak sepengetahuan DPRA.
Kemudian proyek multiyears tidak berdasarkan persetujuan/rekomendasi Komisi IV dan tanpa paripurna DPRA. Bahkan telah dibatalkan melalui Rapat Paripurna DPRA, sebagaimana amanat Pasal 92 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Meskipun telah dibatalkan melalui Surat Keputusan DPRA Nomor 12/DPRA/2020 tanggal 22 Juli 2020 tentang Pembatalan Pembangunan dan Pengawasan Beberapa Proyek Melalui Penganggaran Tahun Jamak (Multiyears) Tahun Anggaran 2020-2022, namun Pemerintah Aceh tetap menjalankan proses pelelangan proyek tersebut.
Berikutnya, pengangkatan Plt. Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa Setda Aceh, Sayid Azhary oleh Plt. Gubernur Aceh dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sebagimana Surat Edaran Kepala BKN Nomor 2/SE/VII/2019 tentang Kewenangan Pelaksana Harian dan Pelaksana Tugas dalam Aspek Kepegawaian.
Pelaksana Tugas melaksanakan tugasnya untuk paling lama tiga bulan dan dapat diperpanjang paling lama tiga bulan. Pengangkatan Plt di Pemerintah Aceh mengabaikan durasi waktu melaksanakan tugas dan perpanjangan tersebut.
Kemudian, pengangkatan Saidan Nafi sebagai Plt. Ketua MAA oleh Plt Gubernur Aceh dinilai melanggar Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2004 tentang Majelis Adat Aceh sebagaimana Putusan PTUN Nomor 16/G/2019/PTUN tanggal 24 Agustus 2019, jo Putusan Mahkamah Agung yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Pemerintah Aceh (Plt. Gubernur Aceh) tidak mengajukan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Perubahan (APBA-P) Tahun Anggaran 2020. Padahal semua prosedur dan persyaratan sudah terpenuhi sesuai Pasal 316 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Serta ketentuan Pasal 161 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Plt. Gubernur Aceh juga dinilai tidak patuh dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menghambat proses pembahasan Rancangan KUA dan Rancangan PPAS Tahun Anggaran 2021 yang seharusnya dilakukan berdasarkan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pembahasan di Komisi III DPR Aceh tidak pernah dihadiri Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Aceh. Pembahasan KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2021 tidak pernah dihadiri TAPA.
Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dilaksanakan Pemerintah Aceh (eksekutif) dan DPRA (legislatif). Namun dalam kenyataannya agenda strategis yang dijalankan DPRA, eksekutif mengabaikan dan tidak menghadiri seperti rapat-rapat paripurna, rapat-rapat pembahasan anggaran. Tidak berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyebutkan bahwa Pemerintahan Aceh diselenggarakan Pemerintah Aceh dan DPR Aceh, jo Pasal 207 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Dasar 1945.
Berkenaan hal tersebut dari poin 1 sampai 9, Saudara Plt. Gubernur Aceh patut diduga telah melanggar hukum dan juga telah melanggar sumpah jabatannya. Terutama kewajiban menjalankan pemerintah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945 dan menjalankan segala undang-undang serta peraturannya. (IA)