Pakar Geodesi UGM Ungkap Sengketa 4 Pulau Akibat Aceh Lalai Tak Daftar pada 2008 Masa Irwandi Yusuf
Setahun kemudian, pada 2009 Aceh mengubah nama-nama tersebut agar sesuai dengan pulau yang disengketakan—namun titik koordinatnya tidak ikut diganti.
“Nama diubah, tapi koordinatnya tidak. Ini membuat data dari Aceh tidak bisa diverifikasi secara valid. Sementara Sumut sejak awal sudah konsisten,” kata Andi.
Kekeliruan ini menjadi celah administratif yang akhirnya dimanfaatkan Sumatera Utara. Karena semua dokumen sejak 2008 merujuk pada data Sumut, maka Kemendagri mengakui empat pulau itu sebagai wilayah provinsi Sumut.
“Dalam sistem administrasi negara, konsistensi data sangat penting. Begitu ada yang tidak sinkron—apalagi menyangkut batas wilayah—kepercayaan akan jatuh pada pihak yang datanya lebih rapi dan lebih awal diserahkan,” tambah Andi.
Aceh Baru Ajukan Dokumen Tahun 2022
Aceh mencoba memperkuat klaimnya pada tahun 2022 masa Gubernur Nova Iriansyah dengan mengajukan salinan dokumen perjanjian batas wilayah tahun 1992. Dalam dokumen itu, empat pulau masuk wilayah Aceh. Namun karena hanya berupa fotokopi hitam putih, dokumen itu belum cukup kuat secara hukum.
“Kalau memang itu dokumen sah, seharusnya versi asli juga ada di tangan Sumut atau Kemendagri. Aceh harus membuktikan keasliannya agar bisa dipertimbangkan ulang,” jelas Andi.
Meski Pemerintah Aceh disebut sudah melakukan aktivitas di empat pulau itu jauh sebelum 2008, Andi menegaskan bahwa penguasaan efektif di lapangan tak berarti sah secara hukum jika administrasi tidak mendukungnya.
Kasus sengketa pulau ini menjadi pelajaran mahal bahwa kelalaian administratif dapat berdampak serius. “Empat pulau yang dulu seharusnya bisa diklaim Aceh, justru lepas karena tak terdaftar dengan benar. Ini bukan soal ukuran pulaunya, tapi soal kedaulatan dan tertib data,” tegas Andi.