Penegak Hukum Diminta Usut Sengkarut Anggaran Dayah
Kantor Dinas Pendidikan Dayah Aceh
Banda Aceh — Aparat penegak hukum di Aceh baik Kepolisian Daerah (Polda) maupun Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh diminta untuk dapat turun tangan mengusut sengkarut pengelolaan anggaran hibah untuk dayah yang ada di Dinas Pendidikan Dayah Aceh (DPDA).
Hal itu menyusul terungkapnya informasi bahwa ada sekitar 70,2 persen atau 347 dari 494 dayah calon penerima dana hibah dari dinas tersebut tak terdaftar dalam SK Gubernur Aceh Nomor 451.44/770/2019 tentang Penetapan Tipe Dayah Aceh Tahun 2019.
Sementara SK tersebut merupakan pedoman dalam rangka pengklasifikasian besaran plafon atau alokasi dana hibah yang boleh diterima setiap dayah, balai pengajian dan taman pendidikan Al-Quran (TPA) mana saja yang mendapat pembinaan dari dinas tersebut.
Dengan demikian, hanya ada 30 persen saja dayah dalam SK Gubernur 2019, yang terakomodir sebagai penerima dana hibah tahun anggaran 2020.
Apalagi, Kadis Pendidikan Dayah Aceh, Usamah El-Madny juga menyebutkan setiap tahun alokasi dana hibah untuk dayah di dinas tersebut, ada sekitar 85 persen yang bersumber dari anggaran pokok pikiran (pokir) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), sedangkan selebihnya adalah kegiatan dinas.
“Kita meminta kepada aparat penegak hukum untuk dapat mulai mengusut sengkarut anggaran dayah ini. Dari data tersebut memperlihatkan ada aturan yang dilanggar dalam pengelolaan dana rakyat,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Aceh, Dr Nasrul Zaman, Minggu (17/5).
Menurutnya, dari data yang ada bisa dijadikan data penunjuk bagi aparat penegak hukum untuk menginventarisir pola dan mekanisme tahun 2018 dan 2019 yang lalu.
“Kita curiga pola seperti tahun 2020 ini sudah berlangsung sejak 2018 yang lalu dan baru kali ini terbongkar ke publik,” terangnya.
Aparat penegak hukum sudah bisa masuk dengan data awal 2020 ini. Aparat kepolisian atau kejaksaan, sudah bisa memulai pengumpulan data dan bahan keterangan (pulbaket) terkait dugaan penyalahgunaan mekanisme distribusi anggaran dayah pada dua tahun sebelumnya.
“Polda atau Kejati sudah bisa mulai bekerja mengumpulkan petunjuk yang ada untuk memulai penyidikan,” sebutnya.
Nasrul Zaman menambahkan, Kadis Pendidikan Dayah Aceh seharusnya lebih terbuka berkaitan dengan berapa jumlah dayah yang masih menerima bantuan dinas dayah dan besaran masing-masing serta menjawab pertanyaan mengapa pemotongan anggaran tersebut yang diakibatkan pandemi Covid-19 tidak merata atau ada yang dipotong atau tidak.
Terkait lolosnya daftar penerima hibah dayah yang tidak ter SK-kan oleh Gubernur di tengah jalan alias penumpang gelap, ini juga harus dijelaskan oleh Kadis.
“Selanjutnya berkaitan dengan yang tidak terdaftar dalam SK Gubernur mengapa bisa dibantu oleh dinas dayah? Bukankah itu nanti menyalahi mekanisme pemberian bantuan yang telah ada? Jadi sebenarnya Kadis Pendidikan Dayah harus menjelaskan secara terbuka berkaitan dengan tata kelola anggaran dinas dayah ini,” desaknya.
Berkaitan dengan pernyataan kebanyakan yang dikelola oleh dinas dayah ada adalah pokir DPRA, Nasrul Zaman justru merasa aneh, mengapa harus diterima oleh dinas kalau menyalahi aturan dan mekanisme yang ada?
“Beberapa dinas banyak yang justru menolak pokir DPRA kalau tidak sesuai dengan aturan dan renstra SKPA tersebut,” tegasnya.
Ia juga meminta Kadis Pendidikan Dayah Aceh jangan sembunyi di balik Plt Gubernur Aceh atas pertanyaan publik terhadap pengelolaan anggaran dinas dayah tersebut. (IA)