LHOKSUKON – Bupati Aceh Utara diminta turun tangan menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat Gampong Kilometer VIII, Kecamatan Simpang Keuramat, dengan perusahaan perkebunan PT Satya Agung (SA) terkait lahan.
Persoalan tersebut dinilai berpotensi semakin meruncing lantaran PT SA telah melaporkan keuchik dan warga Kilometer VIII ke Polres Lhokseumawe atas dugaan penyerobotan lahan.
“Bupati tidak bisa hanya diam dan membiarkan hal ini menjadi polemik berkepanjangan. Ini menyangkut hak hidup rakyat,” tegas Ketua Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Aceh Utara Abubakar,
dalam keterangannya, Sabtu (18/9).
Menurut Abubakar, jika Pemkab Aceh Utara tidak segera bertindak, dikhawatirkan permasalahan tersebut akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan akhirnya masyarakat yang menjadi korban.
“Terlebih lagi menurut pemberitaan di media berdasarkan surat PT SA, Bupati telah duduk dengan manajemen perusahaan untuk penyelesaian sengketa tersebut. Namun sampai sekarang warga tidak tahu apa yang menjadi kesimpulan dalam pertemuan itu,” ujar Abubakar.
“Jika pemerintah tidak hadir untuk penyelesaian sengketa ini secara persuasif, maka asumsi masyarakat pemimpin mereka diam dan bisa diartikan mendukung konflik itu berjalan secara masif. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan visi misi Bupati Cek Mad (Muhammad Thaib),” kata Ketua Keuchik Aceh Utara itu.
Diberitakan sebelumnya, sejumlah masyarakat Kilometer VIII menuding PT SA menyerobot lahan milik warga setempat.
Kepala Dusun Keuramat, Gampong Kilometer VIII, Muhammad Nasir menyebut masyarakat memiliki peta terhadap lahan itu, yakni peta wilayah desa yang dikeluarkan pemerintah tahun 1880.
“Sengketa lahan antara PT SA dengan masyarakat setempat sudah berlangsung sejak 1982, namun orang tua sebelumnya tidak berani melakukan protes,” kata Nasir dalam keterangannya, Selasa (14/9/2021).
Menurut Nasir, sejak 2018 sampai saat ini dengan berpatokan pada peta batas wilayah, masyarakat memberanikan diri untuk menggarap kembali lahan yang sudah lama ditelantarkan itu untuk bercocok tanam.
“Dalam setiap mediasi perwakilan gampong menuntut agar PT SA dapat menunjukkan batas HGU, dengan menurunkan BPN untuk pengukuran ulang. Pada Oktober 2020, tuntutan warga untuk pengukuran kembali tapal batas HGU direalisasikan oleh PT SA dengan menurunkan tim pengukur dari BPN Aceh Utara,” kata Nasir.
“Baik dalam pengukuran maupun ekspose yang dilakukan BPN terbukti bahwa ada sekitar 50 hektare lahan Gampong Kilometer VIII yang berada di luar HGU dikuasai perusahaan itu sejak 1982 dan ditanami pohon karet,” tambah Kadus Keuramat itu.
Keuchik Gampong Kilometer VIII, Mahyeddin Abubakar, mengatakan pada 8 Februari 2021, pihak PT SA mengirimkan surat permohonan penyelesaian garapan dalam HGU perusahaan itu kepada Bupati Aceh Utara. Surat bernomor: 82/SAG/II/2021 itu sebagai tindak lanjut pertemuan antara menajemen PT SA dengan bupati pada 6 Februari 2021. Tembusan surat tersebut ikut disampaikan kepada Keuchik Kilometer VIII.
“Isi surat tersebut tidak benar. Di mana pihak perusahaan menuduh masyarakat Kilometer VIII telah menguasai lahan dalam HGU seluas lebih kurang 140,06 hektare. Dalam surat yang ditandatangani oleh H Tarmizi Thayeb selaku CBDO perusahaan ikut menawarkan kompensasi/tali asih sebesar Rp 1 juta per hektare kepada masyarakat penggarap lahan HGU. Ini juga kami menolak karena tidak benar apa yang disampaikan,” ujar Mahyeddin akrab disapa Nyak Din.
Chief Business Development Officer (CBDO) PT Satya Agung, H Tarmizi, mengklaim PT SA sangat menghormati dan menjunjung tinggi aturan berlaku. Sehingga setiap tindakan dan operasional kegiatannya dijalankan sesuai aturan hukum yang berlaku dan menghargai masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan.
“Karena bagi kami warga lingkungan merupakan mitra kerja. Kami berkomitmen untuk membantu perekonomian warga lingkungan dengan berbagai program, seperti memakai tenaga kerja dari lingkungan dan membangun kebun plasma untuk warga di sekitaran PT Satya Agung,” kata Tarmizi dalam keterangannya Rabu (15/9).
PT SA menolak disebutkan telah menyerobot atau menggarap tanah milik warga. Karena, kata Tarmizi, pihaknya tidak pernah menggunakan tanah milik warga untuk kepentingan perusahaan.
“Semua lahan yang dikuasai merupakan tanah yang telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang telah disahkan secara hukum, dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah diperoleh sejak tahun 1981. Dan, telah diperpanjang haknya sampai dengan tahun 2035,” ujarnya.
Artinya, kata Tarmizi, HGU tersebut masih berlaku dan PT SA tidak menyerobot lahan masyarakat, apalagi mengerjakan lahan di luar HGU-nya tanpa legalitas lahan yang sah seperti yang diberitakan. Pihak perusahaan telah berupaya memberitahukan dan memperingatkan kepada warga penggarap agar tidak menggarap di dalam HGU PT SA, dan telah berulang kali melakukan dialog secara kekeluargaan difasilitasi Muspika.
“Alhasil, ada beberapa oknum masyarakat menolak untuk mengembalikan lahan HGU PT Satya Agung, yang notabane masyarakat atau penggarap tersebut juga tidak memiliki alas hak atau legalitas atas penguasaan lahan tersebut,” tegas Tarmizi.
Terkait laporan pengaduan PT SA ke Polres Lhokseumawe atas dugaan pidana, Tarmizi menyebut hal itu salah satu upaya perusahaan untuk mempertahankan haknya yang telah diberikan pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Pasal 108 tentang KUHAP.
“PT Satya Agung masih membuka pintu dialog bagi masyarakat penggarap yang berkeinginan untuk menyelesaikan persoalan ini secara kekeluargaan,” tambah Tarmizi. (IA)