UU Desa Soal Jabatan Keuchik 8 Tahun Tak Bisa Diberlakukan di Aceh yang Punya Kekhususan
JAKARTA, Infoaceh.net – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perkara Nomor 40/PUU-XXIII/2025 mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 115 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) pada Senin (30/6/2025) di Ruang Sidang MK. Agenda sidang mendengarkan keterangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah).
Permohonan ini diajukan oleh lima keuchik (kepala desa) di Aceh. Para Pemohon mempermasalahkan ketentuan masa jabatan keuchik yang dibatasi selama enam tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 115 ayat (3) UUPA.
Para Pemohon membandingkan ketentuan tersebut dengan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024. UU Desa ini mengatur masa jabatan kepala desa selama delapan tahun dan dapat dipilih kembali satu kali masa jabatan.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudiarta menjelaskan bahwa perbedaan masa jabatan antara keuchik dan kepala desa tidak menjadi persoalan konstitusional. Ia menekankan bahwa UU Pemerintahan Aceh merupakan lex specialis yang berlaku khusus di Aceh dan karenanya mengenyampingkan ketentuan umum dalam UU Desa yang berlaku secara nasional.
“Dalam Pasal 39 ayat (2) dan Pasal 118 UU Nomor 3 Tahun 2024, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa ketentuan tersebut berlaku untuk keuchik di Aceh. DPR sebagai pembentuk UU juga telah mempertimbangkan kekhususan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 107, 109, dan penjelasan umum UU Desa,” terang Wayan.
Penghormatan terhadap Keistimewaan dan Kekhususan Aceh
Pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, menyampaikan bahwa UU Pemerintahan Aceh diterbitkan sebagai pengakuan dan penghormatan terhadap status kekhususan dan keistimewaan Aceh, berdasarkan sejarah perjuangan rakyat Aceh serta karakter adat dan budayanya.
“Perbedaan ini adalah perwujudan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, serta untuk menjamin dan melindungi masyarakat Aceh dalam kehidupan sosial dan politiknya. Maka ketentuan Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena justru memberikan kepastian hukum,” jelas Akmal.