UU Desa Soal Jabatan Keuchik 8 Tahun Tak Bisa Diberlakukan di Aceh yang Punya Kekhususan
Dalam sidang perdana di MK, Senin (28/4/2025), kuasa hukum para Pemohon, Febby Dewiyan Yayan mengatakan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh telah menghilangkan hak konstitusional para Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan (3), serta Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Febby menjelaskan, apabila memperhatikan pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 tanggal 3 Januari 2025, serta perubahan hukum nasional yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), masa jabatan kepala desa telah diatur selama 8 tahun dan dapat dipilih kembali satu kali.
“UU Nomor 3 Tahun 2024 dan Putusan MK Nomor 92/PUU-XXII/2024 berlaku secara nasional, termasuk untuk Aceh, sejak diundangkan. Namun, pemberlakuan masa jabatan tersebut terganjal oleh ketentuan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh,” ujar Febby.
Ia menambahkan, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melalui surat Nomor 161/1378, serta Pemerintah Aceh melalui surat Nomor 400.14.1.3/11532 tertanggal 23 September 2024 yang ditandatangani Pj. Gubernur Aceh, Safrizal, telah menyatakan tidak keberatan terhadap pemberlakuan UU Desa di Aceh.
Meski demikian, keberadaan Pasal 115 ayat (3) UU Pemerintahan Aceh tetap berlaku hingga ada putusan MK yang menyatakan sebaliknya. Febby menegaskan, kewenangan untuk menyatakan suatu norma dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat berada pada MK.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, para Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 115 ayat (3) UUPA bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Gampong dipimpin oleh keuchik yang dipilih secara langsung dari dan oleh anggota masyarakat untuk masa jabatan 8 (delapan) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya”.