Beliau berasal dari Cot Cut kawasan Kuta Baro Aceh Besar. Ayahnya adalah Teuku Nyak Ali seorang ampon dan teuku. Sejak kecil, Teungku Teuku Usman telah dididik oleh ayahnya untuk cinta kepada ilmu pengetahuan.
Mengawali pendidikannya, beliau belajar di SR Lam Ateuk yang sekarang tempat tersebut telah dibangun Pos Polisi. Selesai di SR, Teungku Usman Lueng Ie melanjutkan pendidikan menengahnya di Sekolah Darussalam Merduati.
Pendidikan formal beliau tidak hanya di tingkat menengah, beliau pernah pula mengenyam pendidikan di tingkat atas pada sekolah MULO, sebuah sekolah yang hanya dibolehkan bagi anak-anak bangsawan.
Selesai pendidikannya di MULO, Teungku Usman Lueng Ie melanjutkan karirnya ke bagian militer dengan pangkat terakhir sersan, dan karena kecintaannya kepada agama, beliau pernah menjadi imam selama 5 tahun bagi kalangan militer. Tidak mengherankan, karena memang secara fisik Teungku Usman Lueng Ie memiliki badan tegap dan tinggi besar.
Setelah 5 tahun beliau aktif di kemiliteran, kemudian di tahun 1951 dalam usianya 30 tahun beliau meninggalkan karir kemiliterannya, dan berdagang di Jalan Perdagangan Banda Aceh dan pada tahun itu beliau menikah dengan gadis pilihannya Nuraini dari Lueng Ie.
Beberapa saat berdagang di Banda Aceh, berjumpalah beliau dengan seorang ulama kenamaan Aceh yaitu Teungku Syekh Muda Waly al-Khalidy yang ketika itu ada keperluan ke Banda Aceh karena Abuya Muda Waly adalah Pimpinan Pesantren Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan. Setelah mengenal sosok Abuya Muda Waly, maka terpautlah hati Teungku Usman Lueng Ie untuk menuntut ilmu di Darussalam Labuhan Haji.
Pada tahun 1952 dengan tekad bulat berangkatlah Teungku Usmal Lueng Ie ke Dayah Darussalam. Di mana pada tahun 1952 umumnya murid-murid senior Abuya belum pulang kampung.
Seperti Syekh Aidarus anak dari Syekh Abdul Ghani Kampari mulai belajar di Darussalam tahun 1945, pulang di tahun 1956 setelah sebelas tahun, dan yang lebih awal lagi Abu Yusuf ‘Alami yang merupakan keponakan Abuya yang berasal dari Padang dan kemudian diambil menantu oleh Abuya. Murid Abuya yang alim lainnya Abu Imam Syamsuddin sangkalan, sebelum belajar pada Abuya beliau juga pernah lama belajar kepada Abu Syech Mud Blangpidie.
Abu Imam Syamsuddin berasal dari Blangporoh, dan ketika masyarakat Sangkalan Abdya memerlukan seorang ulama yang mengayomi mereka, maka Abuya Syekh Muda Waly mengirim Abu Imam Syamsuddin ke sangkalan, dan beliau mendirikan Darul Aman yang kemudian berubah menjadi Babul Ulum ini juga di tahun 1956.
Jadi pada era 1952, banyak murid Abuya yang belum pulang, sehingga bagi seorang Teungku Usman Lueng Ie tentu memaksimalkan belajar selain kepada Abuya beliau juga belajar pada murid-murid lainya yang lebih awal dari beliau di Darussalam.
Disebutkan ketika belajar di Darussalam, beliau adalah orang kepercayaan Abuya, dan termasuk santri yang dekat dengan Abuya.
Selama delapan tahun belajar dengan segenap kesungguhan dan ketabahan, di mana beliau ketika belajar sangat sedikit beristirahat, sehingga dalam masa yang singkat telah mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang diperhitungkan.
Setelah menjadi seorang alim, beliau pulang kampung, dan membangun sebuah Pesantren di Lueng Ie dengan nama Dayah Darul Ulum pada tahun 1960. Sejak itu mulailah kiprah keilmuan dan keulamaannya bersinar, sehingga masyarakat Lueng Ie dan sekitarnya mulai berdatangan ke Dayah Darul Ulum Leung Ie, ratusan santri belajar di Dayah yang dibangun di Lueng Ie tersebut, dan umumnya mereka juga kuliah di perguruan tinggi yang ada di Banda Aceh.
Diantara keistimewaan Abu Lueng Ie dalam mengajar, beliau bisa mengajar kitab-kitab besar dalam Mazhab Syafi’i seperti Kitab Mahalli yang berjilid-jilid tanpa perlu melihat kitab, karena telah beliau hafal ulasan dan maknanya. Hal ini menambah kekaguman dan kecintaan murid-muridnya.
Selain seorang guru yang disegani, beliau juga seorang Mursyid untuk Tarekat Naqsyabandiyah, sehingga kecondongan tasawuf begitu melekat dalam kehidupannya sehari-hari. Disebutkan bahwa selesai shalat Ashar biasanya beliau duduk berzikir, tafakkur di ruang khusus di salah satu ruangan di dayahnya, bahkan beliau mengajarkan tarekat sampai ke wilayah Kalee Pidie untuk membina suluk bagi masyarakat setempat.
Selain mengajar di Dayah yang didirikannya, Abu Lueng Ie juga mengajar secara khusus di Balee Manyang Teuku Nyak Arir yang dihadiri oleh banyak para santri yang antusias mendengarkannya. Juga beliau mengajar masyarakat di beberapa majelis taklim untuk menguatkan pemahaman agama dan keislaman masyarakat.
Sebagai seorang ulama yang mengayomi masyarakatnya, Abu Lueng Ie melihat bahwa perlu adanya kiprah dalam dunia politik, sehingga beliau pun terjun dalam dunia politik dengan tetap mengedepankan manhaj dan keyakinan beliau tentang Ahlussunnah WalJama’ah yang telah ditanamkan oleh guru besarnya Syekh Muda Waly, bahkan Abuya Muda Waly yang menambah laqab bagi nama Abu Usman Lueng Ie dengan al-Fauzi artinya selamat dan tembus dari berbagai cobaan dan rintangan. Sehingga namanya menjadi Abu Usman Fauzi Lueng Ie.
Bahkan keterlibatan beliau dalam organisasi keislaman dan perpolitikan jauh sebelum berangkat ke Darussalam Labuhan Haji dimana beliau sebagai anggota PUSA, dan setelah selesai belajar di Labuhan Haji beliau aktif dalam kepemimpinan Perti, sebuah organisasi yang dimasyhurkan oleh Abuya Muda Waly dan diikuti kemudian oleh para ulama lainnya termasuk Abu Hasan Kruengkalee.
Banyak ulama kemudian menganggap kehadiran Abu Lueng Ie pada kancah politik juga menetralisir pemahaman yang keliru terhadap dayah secara khusus, maupun beberapa orang ulama yang berstatus merah dalam masa iklim Aceh yang tidak stabil dahulunya bisa diselamatkan sehingga tidak ditangkap dan dipenjarakan.
Setelah berbagai kiprah yang dilakukan Abu Lueng Ie untuk masyarakatnya, wafatlah ulama itu di tahun 1992 dalam usia 71 tahun. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.
Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary (Ketua Al-Washliyah Banda Aceh)