Nama asli beliau adalah Teungku Abdul Wahab bin Abbas bin Sayed al Hadhrami. Disebutkan asal-usul Teungku Abdul Wahab Seulimum berasal dari Timur Tengah Yaman.
Setelah menjadi seorang yang alim, beliau membangun sebuah dayah di desa kelahirannya Gampong Seulimuem dan berkiprah secara luas, sehingga masyarakat menyebut beliau dengan sebutan Abu Wahab Seulimuem atau Abu Seulimuem.
Kehadiran Abu Seulimuem dalam iklim keilmuan Aceh dirasakan penting, mengingat beliau adalah murid Syekh Haji Hanafiyah Abbas atau dikenal dengan Teungku Abi, pimpinan Dayah Ma’had al Ulum Diniyah Islamiyah Samalanga pada masanya.
Mengawali masa belajarnya, Abu Wahab Seulimuem dibekali dasar-dasar keilmuan dari orang tuanya langsung. Kemudian beliau melanjutkan kajian keilmuannya kepada seorang ulama Lam Jruen Aceh Besar yang bernama Teungku Haji Ibrahim.
Teungku Haji Ibrahim merupakan ulama lulusan Kedah Malaysia dan lama mengabdikan ilmunya di Bireuen, sehingga masyarakat Bireuen menyebut beliau dengan Teungku Di Bireuen. Sekitar tahun 1928, Teungku Haji Ibrahim pulang ke Kampung halamannya Blang Jruen dan mendirikan Dayah. Dan kemungkinan Abu Wahab Seulimuem salah satu murid Teungku Haji Ibrahim angkatan pertama.
Selain itu, Teungku Haji Ibrahim juga sukses mengantarkan anaknya menjadi seorang intelektual Aceh yang dikenal dengan Prof. Tgk. Abdul Majid Ibrahim, Rektor Unsyiah dan Gubernur Aceh yang wafat tahun 1981.
Setelah beberapa tahun belajar kepada Teungku Haji Ibrahim, Abu Wahab Seulimuem kemudian melanjutkan pendalaman keilmuannya kepada seorang ulama terpandang Samalanga yaitu Syekh Hanafiyah Abbas yang dikenal dengan Teungku Abi.
Syekh Hanafiyah Abbas menyelesaikan pendidikan tingginya di Mekkah, sempat berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Bakhri Syatta yaitu ulama dari trah Keluarga Syatta yang dikenal di Mekkah, dan salah satu dari trah Syatta yang dikenal Syekh Sayyid Bakhri Syatta Pengarang Kitab Hasyiah I’anatuththalibin yang wafat tahun 1894.
Syekh Sayyid Ahmad Syatta juga merupakan guru dari Syekh Hasan Kruengkalee. Jadi antara Syekh Hanafiyah Abbas dan Syekh Hasan Kruengkalee bersatu pada guru Syekh Sayyid Ahmad Bakhri Syatta Ulama Mekkah ini.
Sekitar sepuluh tahun Abu Seulimuem berguru langsung kepada Syekh Hanafiyah Abbas dari rentang waktu 1936 sampai 1946 telah mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang memiliki keilmuan mendalam.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, pada tahun 1946 beliau pulang kampung dan mendirikan lembaga pendidikan dengan nama Dayah Ruhul Fata Seulimuem.
Selama proses belajar dan mengajar kepada gurunya Syekh Hanafiyah Abbas, Abu Seulimuem banyak memperoleh berbagai pengalaman, petuah bijak dan bekal ilmu yang mengantarkan beliau menjadi seorang ulama yang bijaksana pula.
Melihat masa awal belajarnya 1936, Abu Seulimuem adalah murid pertama Abu Hanafiyah Abbas, karena Abu Hanafiyah Abbas baru memimpin dayah tersebut di tahun 1936, dimana sebelumnya dipimpin oleh Teungku Haji Syihabuddin Idris dari tahun 1927 sampai 1935.
Selama masa interaksi Abu Seulimuem dengan gurunya itu, beliau merasakan kasih sayang dan perhatian khusus dari gurunya. Sehingga dalam setiap pengajian yang beliau asuh, tidak pernah lupa beliau sebut gurunya itu.
Perlahan Dayah Ruhul Fata yang beliau bangun mulai berkembang. Dari santri yang hanya puluhan orang hingga Dayah Ruhul Fata menjadi dayah besar dengan ribuan santrinya, terutama dibawah pimpinan anak dari Abu Seulimuem yang juga alim yaitu Teungku Haji Mukhtar Lutfi yang dikenal dengan Abon Seulimuem.
Abon Mukhtar Lutfi juga ulama lulusan dayah Samalanga dibawah asuhan Abon Samalanga, pelanjut estafet Teungku Abi Hanafiyah Abbas dan menantunya.
Sejak memimpin Dayah Ruhul Fata, Abu Seulimuem telah melewati berbagai dinamika hingga dayah tersebut besar dan diminati oleh para santri yang datang dari berbagai tempat.
Beliau dengan penuh kesabaran mendidik santri-santrinya hingga banyak yang menjadi alim dan membuka dayah lainnya. Selain mendidik murid-muridnya dengan ilmu agama, beliau juga mengijazahkan kepada murid-muridnya Tarekat Syattariah yang diterima dari gurunya.
Dan dalam sebuah catatan yang beredar, Abu Seulimuem disebutkan pernah pula berguru kepada Abu Hasan Kruengkalee yang merupakan Mursyid Tarekat Haddadiyah yang diterima dari Syekh Hasan Zamzami Mekkah.
Selain mendidik dan mempersiapkan kader ulama, beliau juga berhasil mengkader anak-anaknya melanjutkan estafet keilmuannya, salah satunya yang telah disebutkan adalah Abon Mukhtar Lutfi yang juga menjadi ulama kharismatik Aceh.
Selain Abon Mukhtar Lutfi, anak Abu Seulimuem yang menjadi pimpinan dayah puteri Ruhul Fatayat adalah Waled Husaini, Wakil Bupati Aceh Besar. Abon Mukhtar Lutfi selama di Samalanga disebutkan begitu dekat dengan Teungku Haji Ahmad Dewi dan mereka seperti adik dan abang dalam keilmuan, dan kedua-duanya adalah murid Abu Abdul Aziz Samalanga atau Abon Samalanga.
Selain seorang ulama yang mumpuni dengan keilmuannya, Abu Seulimuem juga memiliki ilmu bela diri sehingga tidak mengherankan bila hampir seluruh ulama lulusan Dayah Ruhul Fata Seulimuem memiliki kemampuan bela diri yang memadai.
Dan ilmu bela diri ini hanya diizinkan oleh Abu Seulimuem kepada santri yang telah lama menimba ilmu dan memiliki akhlakul karimah. Sehingga setelah menjadi pendekar, biasanya mereka diberikan semacam ‘peunutoh’ atau pamungkas yang menjadikan santri tersebut lebih tawadhu’ dan rendah hati.
Penulis sendiri pernah belajar pada ulama lulusan Dayah Ruhul Fata Seulimuem, dan umumnya mereka rasikh ilmunya, menguasai Gramatika Arab Alfiyah dengan baik, pendekar dan rendah hati. Banyak kesan-kesan indah dari sang ulama tersebut kepada para muridnya.
Sehingga para murid pun merasakan rabithah yang erat antara guru dan murid. Setelah berbagai kiprah dan kontribusi yang besar untuk masyarakatnya, pada tahun 1996 dalam usia 76 tahun wafatlah ulama pendekar tersebut.
Setelah beliau wafat, Dayah Ruhul Fata dipimpin oleh anaknya Abon Mukhtar Lutfi sampai wafatnya tahun 2016. Dua ulama kharismatik tersebut telah kembali kehadirat Allah SWT, semoga bercucuran rahmat atas kubur keduanya. Rahimahumallahu Rahmatan Wasi’atan, Alfatihah.
Oleh: Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc