(In memoriam, catatan dari seorang muridnya)
Kami para santri memanggil beliau dengan panggilan “Ustadz”, tentu panggilan yang tidak lazim untuk seorang pimpinan dayah salafi tradisional yang biasanya disapa Abu, Teungku atau Waled, tapi demikian kami para santri membahasakan panggilan untuk beliau dan beliau pun setuju.
Nama lengkap beliau adalah Teungku Zulkifli Ahmad salah seorang ulama Aceh Barat Daya (Abdya). Mengawali masa belajarnya, Abu Zulkifli atau yang kami sapa “Ustadz”, setelah menyelesaikan pendidikan umumnya, dalam usia 13 tahun beliau mulai belajar kepada seorang ulama kharismatik yaitu Abu Imam Syamsuddin Sangkalan yang merupakan ulama lulusan Bustanul Huda Blangpidie dan Darussalam Labuhan Haji dan pimpinan Dayah Babussalam Sangkalan.
Sekitar tahun 1956 Abuya Syekh Muda Waly mengirim Abu Imam Syamsuddin untuk menjadi guru masyarakat Sangkalan atas permintaan mereka kepada Abuya. Abu Imam Syamsuddin dikenal dengan keluasan ilmunya bahkan dalam ilmu ushul fiqih dan mantiq beliau adalah tokoh terbilang dari murid Abuya.
Kepada Abu Imam Syamsuddin, Abu Zul mulai belajar selama tujuh tahun hingga Abu Imam Syamsuddin wafat di tahun 1971, Abu Zul masih melanjutkan pengajiannya di Dayah tersebut, beliau segenerasi dengan Teungku Haji Abdurrahman Badar Kuta Tinggi atau dikenal dengan Aburahman, dan guru mereka diantaranya adalah Ustadz Teungku Tarmizi Dahmi.
Sekitar tahun 1976 Abu Zul Cot Mane kemudian melanjutkan pengajiannya kepada ulama kharismatik Aceh Abu Ibrahim Ishaq Budi di Dayah Budi Lamno. Di Dayah ini beliau tidak terlalu lama menjadi santri karena 5 tahun berikutnya beliau telah menjadi dewan guru.
Karena cerdas dan terang hatinya, pada tahun 1986 Abu Zul telah diamanahkan oleh gurunya Abu Budi Lamno untuk memimpin salah satu dayah masyarakat Meulaboh.
Setelah mengabdi di Lamno dan Meulaboh, pada tahun 1987 beliau terpanggil untuk mendidik masyarakatnya Cot Mane dan sekitarnya, pulanglah beliau ke kampung halamannya dengan harapan bisa mendarma baktikan ilmunya kepada masyarakat setempat.
Maka tahun 1987 beliau kembali ke kampung halamannya Desa Cot Mane dan mulai merintis sebuah Dayah yang dikenal dengan MUDI singkatan dari Ma’danul Ulum Diniyah Islamiyah. Ketika beliau belajar di Budi Lamno, beliau adalah kakak kelas dari ulama kharismatik Aceh Besar Abu Athaillah Ishaq Ulee Titi. Terhitung mulai dari tahun berdirinya Dayah Mudi Cot Mane, beliau terus mengabdi secara tulus tanpa pamrih.
Abu Dun Cot Mane merupakan seorang ulama yang sarat pengabdian, selain sebagai seorang pimpinan pesantren, beliau juga termasuk anggota Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Abdya semasa hidupnya.
Sehingga kepakaran Abu Dun dalam bidang fiqih tidak diragukan sama sekali dalam meramu fatwa-fatwa yang akurat dan bernas. Bahkan dalam banyak hal beliau dipercaya langsung oleh pemuka ulama Abdya Abu Haji Mohd. Syam Marfaly untuk mengasuh pengajian para teungku dan pimpinan dayah Abdya bila Abu Syam dan Teungku Baihaqi Daud atau Abu Bai berhalangan hadir.
Sebagai seorang santri yang pernah belajar di Dayah Mudi Cot Mane, saya merasakan langsung perhatian khusus dari beliau. Mungkin santri yang lain juga merasakan hal yang sama.
Bahkan setelah merantau dari Abdya, belajar dan bersekolah di beberapa tempat, saya masih bertanya banyak hal kepada beliau terutama persoalan hukum fiqih dan lain-lain. Beliau dengan mudah dan senang hati menjawabnya.
Abu Dun Cot Mane adalah seorang yang alim. Beliau juga seorang yang sederhana dalam ucapannya. Setelah beliau berpulang, yang kemudian diikuti oleh beberapa ulama lain, maka terasa makin berkurang lampu yang menerangi umat Islam terkhusus Abdya.
Masih lekat dalam ingatan penulis, senyum khas beliau ketika menjelaskan matan kitab yang rumit yang terkadang juga diselingi oleh senyum kami para santri beliau ketika sampai ke pembahasan yang bersifat humor dan seru. Semoga segala kebaikannya diberikan balasan dengan surga-Nya. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan. Alfaatihah.
Ditulis Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc