Nama aslinya Teungku Ismail Yaqub, namun setelah beliau menyelesaikan pendidikannya di Mekkah, masyarakat Aceh menyebutnya dengan panggilan Teungku Chik Pantee Geulima. Teungku Ismail lahir di Pantee Geulima Meureudu, dan beliau masih keturunan ulama-ulama Aceh yang bergelar Sayyidil Mukammil.
Diantara keturunan raja Aceh yang menfokuskan diri dalam ilmu agama, bahkan mendirikan lembaga pendidikan yang dikenal dengan Dayah Teungku Chik Pantee Geulima adalah Teungku Yaqub yang merupakan moyang dari Teungku Ismail Yaqub yang sedang dibahas. Sehingga para ulama yang memimpin Dayah Pantee Geulima disebut dengan Teungku Chik Pantee Geulima seperti Teungku Chik Tanoh Abee.
Teungku Ismail Yaqub lahir di tahun 1838 dari seorang ayah yang juga ulama dan pimpinan Dayah yaitu Teungku Yaqub. Melihat kepada tanggal lahirnya Teungku Syekh Ismail, beliau sebaya dengan Teungku Chik Di Tiro yang lahir tahun1836, dan Teungku Chik Pantee Kulu yang lahir tahun 1839, ketiganya adalah ulama besar dan pejuang kenamaan dalam perang Aceh.
Mengawali masa belajarnya, Teungku Ismail Yaqub belajar langsung di Dayah Pantee Geulima yang dipimpin oleh ayahnya. Namun karena masih baru belajar, beliau belum belajar langsung pada ayahnya. Teungku Ismail Yaqub belajar pada asisten teungku chik yang disebut teungku di rangkang.
Setelah menyelesaikan pendidikan pada teungku rangkang yang ditunjuk langsung oleh ayahnya Teungku Yaqub, Teungku Ismail Yaqub telah menguasai ilmu yang memadai untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi yaitu belajar langsung kepada Teungku Chik di Dayah Pantee Geulima yang merupakan ayahnya sendiri.
Setelah belajar beberapa lama kepada ayahnya secara langsung, Teungku Ismail yang ketika itu sudah layak menjadi teungku di rangkang atau asisten Teungku Chik telah mampu menyerap berbagai ilmu secara mendalam. Sehingga pada usianya yang masih belia, Teungku Ismail Yaqub telah menjadi ulama muda yang mendalam ilmunya.
Walaupun Teungku Ismail Yaqub telah menjadi alim, namun beliau merasa ilmunya masih dangkal, sehingga mengantarkan Teungku Ismail Yaqub muda ke Mekkah. Pada tahun 1868 berangkatlah Teungku Ismail Yaqub ke Mekkah untuk belajar kepada para ulama besar yang ada di Mesjidil Haram.
Disebutkan hampir sepuluh tahun beliau belajar dengan tekun kepada para ulama yang ada disana, hingga mengantarkan beliau menjadi seorang syekh dan telah diangkat menjadi asisten seorang syekh di Mesjidil Haram.
Melihat kepada tahun kedatangan beliau di Mekkah, kemungkinan besar beliau segenerasi dengan Syekh Sayyid Bakri Syatta pengarang kitab I’anatuththalibin yang lahir tahun 1844 yang merupakan guru dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Ali bin Husen al-Maliki. Dan hal yang dimaklumi bahwa Syekh Sayyid Bakri adalah murid kesayangan dari Mufti Mekkah yaitu Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang merupakan Syeikhul Masyayikh ketika itu.
Maka tidak mengherankan bila Teungku Syekh Ismail Yaqub kemudian menjadi alim besar sepulangnya beliau dari Mekkah, selain pintar dan cerdas, beliau adalah seorang yang gagah berani.
Sehingga kepulangan Syekh Ismail sangat dinantikan oleh para penuntut ilmu yang belajar di Dayah Pantee Geulima ketika itu yang hampir mencapai seribuan. Maka kepulangan beliau merupakan harapan besar untuk memajukan dan melanjutkan estafet kepemimpinan setelah ayahnya. Tidak berlebihan bila kemudian Teungku Chik Ismail Pantee Geulima merupakan guru yang dinantikan oleh murid-muridnya.
Diantara para ulama yang pernah belajar pada Teungku Chik Ismail Yaqub Pantee Geulima ialah Tuanku Raja Keumala, Teungku Ismail yang dikenal dengan Teungku Chik Empei Tring, Teungku Di CotPling, dan Teungku Chik Hasballah Meunasah Kumbang, serta para ulama lainnya yang kemudian menjadi pengayom masyarakat dan pejuang yang hebat.
Setibanya Teungku Syekh Ismail Yaqub dari Mekkah, keadaan Aceh dalam keadaan genting, dimana Belanda telah mulai mencaplok wilayah-wilayah Aceh dan menanamkan pengaruhnya dan menebarkan politik perpecahan. Melihat gelagat yang demikian, maka Teungku Chik Ismail Yaqub mulai mengatur siasat untuk mempersiapkan diri, beliau mendidik santrinya dengan sungguh-sungguh,dan melatih mereka untuk siap berperang.
Sehingga jadilah Dayah Pantee Geulima sebagai salah satu markas untuk melatih para pejuang Aceh dalam berbagai peperangan. Beliau dengan lima ratus pasukan terlatihnya senantiasa bersiap-siap terhadap berbagai kemungkinan yang dilakukan Belanda.
Setelah berakhirnya Sultan Mansur Syah di tahun 1870, pada tahun 1873 mulailah meletus perang Aceh ditandai dengan ultimatum Belanda kepada Sultan Aceh untuk tunduk dibawah kedaulatan Belanda. Tentu ultimatum tersebut ditolak oleh Sultan dan rakyat Aceh.
Maka Teungku Chik Pantee Geulima berangkatlah bersama lima ratus pasukan terlatihnya ke Aceh Besar dan Banda Aceh, untuk mengamankan wilayah kerajaan Aceh. Selama tiga tahun beliau dengan pasukannya melawan Belanda dan memukul mundur pasukan Belanda.
Pada tahun 1876 beliau dengan pasukannya kembali ke kawasan Meureudu, Samalanga, Keumala untuk mempersiapkan wilayah tersebut dan menjadi benteng terakhir bila Aceh Besar Kuta Karang, Lampisang, Seulimum, Tanoh Abee dikuasai.
Beliau memprediksi akan terjadi pertempuran yang lama antara Belanda dan para pejuang dari Aceh Besar. apalagi di tahun 1881 pulang dari Mekkah Teungku Chik Di Tiro yang siap memimpin peperangan. Demi mendengar pimpinan yang gagah berani Teungku Chik Di Tiro, maka para ulama lainnya seperti Teungku Chik Kuta Karang yang ketika itu sebagai mufti kerajaan Aceh juga ikut berjuang bersama Qadhi Rabbul Jalil Teungku Chik Tanoh Abee dan para ulama lainnya.
Adapun Teungku Chik Pantee Geulima memperkuat wilayah Keumala yang juga menjadi incaran Belanda, karena umumnya keluarga Sulltan Aceh berpindah ke Keumala dari Kuta Raja Banda Aceh. Termasuk keluarga sultan Aceh yang ikut bergerilya ialah Tuanku Raja Keumala yang dalam masa pengungsiannya banyak belajar agama kepada Teungku Chik Pantee Geulima sebelum beliau belajar di Mekkah nantinya.
Dan teman seperjuangan Tuanku Raja Keumala ialah Teungku Haji Ismail Empeu Tring yang kemudian dikenal sebagai Teungku Chik Empeu Tring Pimpinan Dayah di Indrapuri sebelum Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri.
Pada akhir tahun 1876 Teungku Chik Pantee Geulima diutus oleh Sultan untuk bernegosiasi ke Batak kepada pemimpin mereka Singsingamangaraja untuk memberitahukan perlawanan terhadap Belanda.
Disebutkan bahwa Raja Batak tersebut masuk Islam di tangan Teungku Chik Pantee Geulima. Dan seratus orang pasukan inti Teungku Chik Pantee Geulima menetap dan memperkuat Raja Singsingamangaraja tersebut. Sehingga pada tahun 1878 meletuslah peperangan antara Raja yang pemberani melawan Belandan.
Setibanya Teungku Chik Pantee Kulu ke Aceh kembali, beliau menerima berbagai informasi yang menyebutkan Belanda telah mulai merengsek menembus kawasan Keumala, dan terjadi beberapa kali peperangan terutama di Benteng Batei Illiek. Karena benteng ini merupakan benteng strategis pejuang Aceh kawasan Pidie dan sekitarnya. Demikianlah kiprah yang besar dalam perjalanan hidup sang ulama pejuang Teungku Chik Pantee Geulima.
Dan pada hari Jum’at 1904 syahidlah Teungku Chik Pantee Geulima dan pasukannya dalam perang yang dahsyat. Maka dengan syahidnya beliau, sungguh Aceh telah kehilangan seorang ulama besar, pejuang yang hebat dan gagah berani.
Beliau adalah seorang Teungku Chik yang telah berjihad dengan ilmunya, dan turun langsung ke kancah peperangan untuk mengahadang penjajag Belanda. Maka kiprah beliau sama seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Chik Tanoh Abee dan Teungku Chik Pantee Kulu, serta ulama hebat lainnya.
Ditulis Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc (Ketua STAI Al Washliyah Banda Aceh; Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh; dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama)