Beliau berasal dari keturunan ulama dan pejuang. Asal muasal keturunan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee dari Timur Tengah tepatnya di Baghdad, Irak. Teungku Chik Abdul Wahab merupakan generasi kelima dari Syekh Fairus al-Baghdadi, seorang ulama besar Baghdad yang hijrah ke Aceh pada masa kesultanan Sultan Iskandar Muda.
Syekh Fairus berangkat ke Aceh, ketika di Baghdad berkuasa pemimpin yang berbeda pemahaman agama dengannya. Tiba di Aceh, melihat keilmuan dan keulamaannya, maka Sultan Iskandar Muda mengangkat Syekh Fairus sebagai Qadhi Rabbul Jalil yaitu penasehat agama untuk Panglima Sagi satu tingkat di bawah Qadhi Malikul Adil yang dikenal dengan Syekhul Islam atau penasehat kerajaan yang masyhur dengan istilah Mufti seperti Syekh Abdurrauf al-Singkili.
Syekh Fairus memiliki anak namanya Teungku Chik Nayan al-Fairusi yang merupakan murid dari Syekh Baba Daud Rumi pengarang kitab Masailal Muhtadin, seorang ulama berdarah Turki, murid dari Syekh Abdurrauf Singkel yang kedua-duanya berkubur di Kuala.
Disebutkan bahwa Syekh Nayan al-Fairusi diperintahkan oleh gurunya Syekh Daud Baba Rumi setelah menyelesaikan pendidikan di Dayah Leupeu Peunayong untuk membangun lembaga pendidikan sendiri di Tanoh Abee, sehingga generasi selanjutnya setelah Syekh Nayan yang memimpin lembaga pendidikan Tanoh Abee atau Dayah Tanoh Abee disebut dengan Teungku Chik di Tanoh Abee.
Pelanjut Dayah Tanoh Abee setelah Syekh Nayan al-Fairusi merupakan Teungku Chik Abdurrahim al-Hafidz yang generasi berikutnya dipimpin oleh Teungku Chik Muhammad Saleh al-Fairusi pengarang Kitab Asrarul Hudud yang juga menjabat sebagai Qadhi Rabbul Jalil ayah dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee, yang merupakan karib dari Teungku Chik Di Tiro Pahlawan Nasional.
Teungku Chik Abdul Wahab wafat di tahun 1894 dalam pengasingannya, sebelumnya di tahun 1891 telah wafat terlebih dahulu Teungku Chik Di Tiro setelah memimpin perang selama sepuluh tahun 1881-1891, masa perang yang paling kelam dalam peperangan Belanda, dimana mereka hanya mampu bertahan di benteng-benteng mereka.
Karena pada masa ini banyak para Teungku Chik atau ulama besar yang ikut memperkuat perjuangan Teungku Chik Di Tiro seperti Teungku Chik Pantee Kulu, Teungku Chik Dirundeng, Teungku Chik Oemar Diyan, Teungku Haji Muda Kruengkalee, Teungku Chik Ahmad Buengcala, Teungku Chik Pentee Gelima dan banyak para ulama dan bangsawan lainnya.
Setelah wafatnya Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee, beberapa ulama yang menjadi sasaran penangkapan oleh Belanda hijrah ke Yan Keudah Malaysia diantaranya Teungku Chik Oemar Diyan dan Teungku Chik Muhammad Arsyad Diyan yang membentuk generasi ulama sesudahnya seperti Teungku Haji Hasan Kruengkale, Teungku Haji Ahmad Hasballah Indrapuri, Teungku Abdullah Lam U, Teungku Muhammad Saleh Lambhuk dan ulama lainnya.
Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee kemungkinan besar sezaman dengan ulama dari Banten Syekh Nawawi al-Bantani pengarang banyak kitab. Karena Teungku Chik Abdul Wahab ketika di Mekkah berguru kepada Syekh Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang merupakan mufti dalam Mazhab Syafi’i pada zamannya, dan juga merupakan guru dari Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Sayyid Bakri Syatta pengarang Kitab Hasyiah I’anatuththalibin.
Tahun lahir Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee tidak diketahui, namun Syekh Nawawi Banten lahir di tahun 1813 dan wafat di tahun 1897 dalam usia sepuh 84 tahun. Adapun Syekh Sayyid Bakhri Syatta lahir tahun 1844 dan wafat ditahun 1896 beliau merupakan guru dari Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, ulama Padang yang pernah menjadi Imam, Khatib, Mufti Syafi’i pada kurun terakhir di Mekkah. Dapat dipastikan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee seusia dengan Syekh Nawawi al-Bantani.
Disebutkan bahwa Teungku Chik Tanoh Abee adalah ulama yang membaiat para teuku dan hulu balang yang akan mengikuti perjuangan dibawah komando Teungku Chik Di Tiro dengan disaksikan oleh Teuku Panglima Polem, ulama dan Ulee Balang Aceh.
Selain sebagai ulama, Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee juga seorang kolektor terkenal yang banyak mengoleksi manuskrip kuno tulisan dan kitab-kitab ulama terdahulu termasuk karya dari Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Samsuddin Sumatrani dalam kajian tasawuf.
Awalnya manuskrip tersebut sampai 10.000 naskah namun pada masa peperangan dengan Belanda banyak yang dibakar hingga tersisa 3000 manuskrip, yang juga masih besar untuk ukuran Asia Tenggara.
Manuskrip kuno tersebut dijaga oleh keturunan beliau hingga pada masa Abu Dahlan Tanoh Abee, ulama kelahiran 1943 cicit dari Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Koleksi Manuskrip Dayah Tanoh Abee terbuka untuk umum setelah Tsunami 2006, mengingat manuskrip di Aceh lainnya hilang bersama gelombang Tsunami.
Sehingga keberadaan Manuskrip Tanoh Abee merupakan warisan intelektual yang sangat berharga bagi Aceh secara khusus dan Indonesia secara Umum. Sebagai seorang ulama pimpinan dayah, tokoh masyarakat, pejuang dan Qadhi Rabbul Jalil, tentu kiprah Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee sangatlah besar peranannya, dan khusus untuk koleksi manuskrip kuno beliaulah satu-satunya ulama yang memilikinya, bahkan beliau juga menulis mushaf Al-Qur’an dengan taangannya. Setelah pengabdian yang panjang dan besar, maka wafatlah ulama tersebut di tahun 1894. Rahimahullah Rahmatan Wasi’atan.
Ditulis oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc (Ketua STAI Al Washliyah Banda Aceh, Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh, dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama)