Beliau berasal dari keturunan ulama dan bangsawan Aceh. Ayahnya Datu Muhammad yang dikenal dengan Teungku Asahan adalah seorang bangsawan Aceh. Adapun ibunya Teungku Fatimah ialah anak dari Ulama dan Pimpinan Dayah Lam Pucok yaitu Teungku Muhammad Saad yang dikenal dengan Teungku Chik Lam Pucok atau Teungku Chik Di Lam Krak yang merupakan guru dari pahlawan besar Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman.
Karena Teungku Chik Di Tiro sebelum berangkat ke Mekkah pernah dua tahun memperdalam keilmuannya kepada Teungku Chik Lam Krak yang tidak lain kakek dari Teungku Fakinah dari jalur ibunya.
Teungku Fakinah diperkirakan lahir di tahun 1856 di Desa Lam Diran Gampong Lambeunot Kemukiman Lam Krak Aceh Besar. Melihat kepada tahun kelahiran Teungku Fakinah, beliau lebih muda dari para ulama lainnya seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Pantee Kulu dan Teungku Chik Pantee Geulima. Mengawali jejak keilmuannya, Teungku Fakinah belajar langsung kepada kedua orangtua yang juga ulama.
Beliau belajar membaca Al-Qur’an dan kitab kitab jawo langsung kepada ibunya. Selain itu, Teungku Fakinah juga diajarkan cara menenun pakaian, memasak dan menjahit.
Sedangkan kepada ayahnya, Teungku Fakinah mempelajari berbagai macam cabang keilmuan dengan memakai kitab-kitab Arab, yang mengantarkan beliau menjadi seorang yang alim, sehingga masyarakat Aceh mengenalnya dengan Teungku Fakinah.
Setelah dewasa pada tahun 1872, satu tahun sebelum perang Belanda beliau menikah dengan seorang ulama muda Teungku Ahmad yang dikenal dengan Teungku Aneuk Glee. Bersama suaminya Teungku Fakinah mulai merintis pembangunan dayah yang dibantu pembiayaan oleh ayah Teungku Fakinah.
Di dayah yang baru dibangun, Teungku Aneuk Glee mengajar santri laki-laki, sedangkan Teungku Fakinah mengajar santri perempuan.
Baru satu tahun suasana berjalan, maka meletuslah perang Aceh di tahun 1873, dimana Belanda mengultimatum Sultan Aceh untuk mengakui kedaulatan Belanda.
Semenjak tahun 1873 peperangan Aceh pun bermula. Kerugian kedua belah pihak sangat besar, dan banyak para pejuang yang syahid di medan pertempuran untuk menghadapi agresi Belanda salah satunya adalah Teungku Ahmad Aneuk Glee suami dari Teungku Fakinah.
Setelah syahid suaminya, Teungku Fakinah kemudian mulai turun ke kancah peperangan. Beliau mengumpulkan para wanita yang suaminya telah syahid di medan perang dengan membentuk pasukan “inoeng balee”, selain itu karena keahlian berdiplomasi dan keberaniannya, Teungku Fakinah kemudian diangkat sebagai panglima perang dengan tiga bataliyon tambahan dari pihak laki-laki selain satu bataliyon para janda yang telah disebutkan. Jadilah empat bataliyon berada dibawah kepemimpinan Teungku Fakinah.
Disebutkan, selain berani, cerdas, Teungku Fakinah adalah seorang yang rupawan. Beliau dan Cut Nyak Dhien memiliki banyak kesamaan dalam hal cerdas, alim dan rupawan. Setelah lebih kurang dua tahun menjanda Teungku Fakinah kemudian menikah dengan Teungku Nyak Badai yang juga ulama muda Pidie, lulusan Dayah Teungku Chik Tanoh Abee dan teman sepengajian Teungku Chik Di Tiro.
Bersama Teungku Nyak Badai, Teungku Fakinah kemudian semakin kokoh dalam perjuangan. Berbagai peperangan dilalui oleh dua pasangan tersebut, terhitung dari tahun 1876 sampai syahidnya Teungku Nyak Badai di tahun 1896 mereka terus bersama turun ke medan peperangan untuk menggelorakan jihad fi sabilillah.
Bahkan setelah wafatnya Teuku Chik Di Tiro panglima besar perang Aceh pada tahun 1891 dan Teungku Chik Abdul Wahab Tanoh Abee 1894, mereka terus melanjutkan estafet perjuangan.
Dan Teungku Fakinah juga sosok yang membujuk Cut Nyak Dhien agar mengingatkan suaminya Teuku Umar Meulaboh untuk kembali ke barisan perjuangan Aceh setelah beliau bergabung dengan Belanda selama tiga tahun. Sehingga Teuku Umar Johan Pahlawan kembali kebarisan perjuangan dan menemui syahidnya di ujong Kalak Meulaboh pada tahun 1889.
Walaupun para pimpinan besar perjuangan Aceh banyak yang berguguran di medan perang, Teungku Fakinah tetap teguh dalam keyakinan Perjuangannya. Beliau menetap berpindah-pindah mulai dari Lam Krak, Indrapuri, Keumala, Tangse, bahkan sampai ke Gayo bergerilya di dalam hutan bersama para pejuang termasuk menjaga isteri pemimpin Aceh agar tidak ditangkap Belanda seperti Cutpo Lamgugob dan Cut Awan yang merupakan istrinya Tuwanku Hasyim Banta Muda ayah dari Tuwanku Raja Keumala ulama dan bangsawan Aceh.
Setelah perang Aceh mereda, dengan adanya perjanjian damai di tahun 1903, maka banyak para pejuang yang kemudian kembali ke dayah mereka untuk menghidupkan kembali kajian keilmuannya, maka demikian halnya Teungku Fakinah, setelah syahidnya Teungku Chik Di Tiro Mahyed di tahun 1910, maka beliau pun turun gunung pada tahun 1911 dan kembali ke Lam Krak, untuk membangun kembali dayah orang tuanya yang telah lama terbengkalai dalam masa peperangan. Beliau kembali menjadi seorang guru dan ulama bagi masyarakatnya.
Pada tahun 1914, Teungku Fakinah berhasrat ingin melaksanakan ibadah haji, dan menetap di Mekkah untuk memperdalam ilmunya. Sehingga pada tahun 1915 sampai 1918 beliau naik haji dan menetap di Mekkah untuk berguru kepada ulama Mekkah, kemungkinan besar beliau sempat belajar kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau yang wafat tahun 1916 dan kepada ulama lain seperti anaknya Syekh Sayyid Bakhri Syatta Pengarang Kitab Hasyiah I’anatuththalibin yaitu Syekh Sayyid Ahmad Syatta.
Setelah menjadi seorang ulama besar dan syaikhah, beliau pulang kembali ke dayahnya untuk membuat banyak pembaharuan, dan semangat yang baru yang dibawanya dari Kota Suci Mekkah.
Maka ide-ide cemerlang Teungku Hajjah Fakinah disambut secara antusias oleh para ulama dan ulee balang Aceh seperti Tuwanku Raja Keumala dan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Bahkan keduanya juga membangun lembaga pendidikan di Peulanggahan oleh Tuwanku Raja Keumala, dan Dayah Lamsie oleh Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Setelah kiprah dan kontribusi yang besar, maka di tahun 1938 wafatlah ulama besar dan pejuang wanita itu. Rahimahallah Rahmatan Wasi’atan.
Ditulis Oleh:
Dr. Nurkhalis Mukhtar El-Sakandary, Lc (Ketua STAI Al Washliyah Banda Aceh, Pengampu Pengajian Rutin TAFITAS Aceh, dan Penulis Buku Membumikan Fatwa Ulama)