Dirjen Pajak Suryo Utomo. Foto: BeritaSatu Photo/M Defrizal
Ini berlaku juga bagi perusahaan digital lainnya seperti Zoom, Amazon, maupun Spotify wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas produk digital mereka ke pemerintah, apabila tidak dilaporkan maka akan diberikan sanksi pembatasan akses di tanah air.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo mengatakan sanksi berupa pembatasan akses sudah diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Namun nantinya akan dituangkan dalam aturan turunan dalam peraturan menteri keuangan (PMK) baru.
Kemudian dalam beleid baru ini juga diatur mengenai PMSE yang akan menjadi pemungut, penyetor, dan pelaporan PPN kepada otoritas pajak nasional.
“Kalau kita baca Perppu itu, apabila PMSE tidak mematuhi, akan ada sanksi di Perppu itu, yaitu pembatasan akses. Tapi untuk implementasinya seperti apa, nanti kami akan rumuskan dalam satu PMK tersendiri setelah PMK penunjukan PMSE sebagai pemungut PPN ini selesai diterbitkan,” ungkap Suryo dalam media briefing pemulihan ekonomi nasional, Senin (18/5).
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan pungutan PPN akan berlaku bagi setiap pihak yang memanfaatkan produk digital dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa, baik perusahaan maupun konsumen di dalam negeri.
“Ini upaya pemerintah untuk menciptakan kesetaraan berusaha (level playing field) bagi semua pelaku usaha khususnya antara pelaku di dalam negeri maupun di luar negeri, serta antara usaha konvensional dan usaha digital,” jelasnya.
Lebih lanjut, apabila perusahaan digital tersebut tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia, mereka dapat menunjuk representasi atau kantor perwakilan di dalam negeri, sehingga bertugas menarik PPN atas PMSE tersebut.
Hal ini juga membuat pungutan pajak digital dari perusahaan di luar negeri setara dengan produk digital sejenis yang diproduksi oleh pelaku usaha dalam negeri. Ia mengatakan kebijakan ini dikeluarkan untuk menciptakan kesetaraan berusaha bagi semua pelaku usaha digital.
Di sisi lain, pungutan PPN ini memang menjadi strategi pemerintah untuk menambah pos penerimaan pajak.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analyst, (CITA) Fajry Akbar menilai, penarikan pajak perusahaan digital merupakan solusi di tengah, polemik perpajakan ekonomi digital, dibanding berpolemik dengan mengambil unilateral measure (tindakan sepihak) terkait hak pemajakan atas profitnya.
“Kami sendiri sejak tahun 2018 memang menyuarakan hal tersebut, jadi sebenarnya kami bersyukur karena apa yang kami ajukan dahulu telah dieksekusi oleh pemerintah”ungkapnya, ketika dihubungi Investor Daily, Sabtu (16/5).
Meskipun penarikan pajak digital, kata Fajri agak kurang tepat di tengah tekanan Covid-19, sehingga memiliki tekanan politik berupa penolakan dari masyarakat.
Menurutnya pemungutan pajak perusahaan digital, juga diperlukan untuk mendorong stimulus fiskal di tengah Covid-19.
“Ada permasalahan timing ya, karena lagi kondisi susah karena Covid-19 gini, jadi ada tekanan politik berupa penolakan dr masyarakat. Tapi kebijakan tidak ada yang sempurna, pemerintah sendiri kan butuh uang untuk memberikan stimulus fiscal,” jelasnya.
Di samping itu, adanya potensi manipulasi data dalam pelaporan data perusahaan pajak digital, kata Fajri, terlalu riskan bagi perusahaan besar, sebab ini sudah menjadi risiko bisnis bagi perushaan digital.
“Tentunya, menjadi pemungut yang patuh adalah opsi terbaik untuk bisnis mereka” tuturnya.
Untuk menjaring perushaaan digital patuh, maka pendekatan pemerintah pun tidak boleh keras atau kaku. Sebab kuncinya terkait kerjasama, yakni mutual benefit bagi keduanya.
Untuk opsi adanya punishment bagi perusahaan digital yang tidak patuh wajib dilalkukan, agar dapat lebih patuh. Namun ini merupakan jalan terakhir, oleh karena itu dialog menjadi kunci terakhir.
“Saling percaya adalah kunci di sini. Mengapa? Karena mereka berada di luar enforcement jurisdictions kita. Untuk punishment sendiri sebenarnya sudah ada dalam perpu no. 1 tahun 2020 yang baru saja diundangkan menjadi UU,”jelasnya.
Adapun aturan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Kemudian diimplementasikan melaui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Jumlah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME).
Pada pasal 2 disebutkan PPn dikenakan atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean didalam Daeran Pabean melalui PMSE. Nantinya PPN akan dipungut, disetorkan dan dilaporkan oleh PMSE yang ditunjuk oleh Menteri.
Nantinya PPN yang tertuang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang berasal dari transaksi antara Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri dengan Pembeli Barang dan atau Penerima Jasa secara langsung dipungut, disetorkan dan dilaporkan oleh Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri yang ditunjuk sebagai PPN PMSE.
Kemudian pelaku usaha PMSE ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE yang memenuhi kriteria.
Pertama nilai transaksi dengan Pembeli Barang dan atau Penerima Jasa di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan dan atau Jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan.
Disamping itu dalam Pasal 5, Pembeli Barang dan atau Penerima Jasa, yang dimaksud merupakan orang pribadi atau badan yang memenuhi kriteria.
“Bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di Indonesia,” jelas Beleid tersebut.
Kemudian penerima jasa, melakukan pembayaran menggunakan fasilitas debit, kredit dan atau fasilitas pembayaran lainnya yang disediakan oleh institusi di Indonesia dan atau berinteraksi menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon negara Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Akses Perusahaan Digital akan Dibatasi Jika Tak Bayar Pajak”