ACEH UTARA – Langkah PT Pembangunan Aceh (PEMA) yang memutuskan akan menggandeng perusahaan swasta nasional untuk pengelolaan migas Blok B menuai kritik.
Hal ini disebabkan jika migas Blok B dikendalikan perusahaan swasta, maka berpotensi lebih buruk daripada dikelola BUMN selama ini yakni Pertamina.
Penilaan dan kritikan itu disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara dari Partai NasDem, Zubir HT, dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (29/4).
Menurutnya, keputusan alih kelola lapangan minyak dan gas bumi Blok B di Aceh Utara yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor: 76.K/HK.02/MEM.M/2021 tentang Persetujuan Pengelolaan dan Penetapan Bentuk dan Ketentuan-ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama pada Wilayah Blok B, adalah prestasi gemilang dan patut diapresiasi semua pihak.
Namun, kata Zubir, sangat disayangkan pernyataan Direktur PT PEMA yang memutuskan menggandeng perusahaan swasta nasional besutan Bakrie Grup, dan merekrut SDM tamatan Universitas Syiah Kuala, Universitas Pertamina, Universitas Gadjah Mada, hingga Institute Teknologi Malaysia.
“Itu merupakan pernyataan yang melukai masyarakat Kabupaten Aceh Utara selaku pemilik wilayah kerja (Blok B),” kata Zubir.
Ia menyebutkan, keputusan menggandeng perusahaan swasta adalah kegagalan berpikir elite PT PEMA, Dinas ESDM Aceh, bahkan BPMA.
Karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 39 ayat (1) dan (2) secara clear dan clean menyebutkan bahwa wilayah kerja dikembalikan oleh kontraktor sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) dapat ditawarkan lebih dulu kepada BUMD sebelum ditawarkan sebagai wilayah terbuka, dengan mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan BUMD sepanjang saham BUMD 100% dimiliki oleh Pemerintah Aceh.
“Maksud dari 100% saham Pemerintah Aceh atau 100% saham yang dimiliki BUMD Aceh dalam hal ini PT PEMA terhadap rencana pembiayaan K3S tersebut bersumber dari Pemerintah Aceh, bukan dari luar Aceh, apalagi perusahaan swasta nasional yang kadang pun memiliki track record buruk dalam menjalankan bisnis,” ungkap Zubir.
Dengan demikian, kata Zubir, ada beberapa hal yang gagal dilaksanakan PT PEMA. Pertama, melibatkan perusahan swasta nasional dalam pengelolaan Blok B merupakan upaya yang massif dan sistematis dengan mengabaikan banyak masukan dari daerah, termasuk Aceh Utara sebagai pemilik wilayah.
“Kesannya ini ada permainan di tingkat elite, karena Aceh Utara sampai saat ini belum pernah diajak diskusi dalam ruang bisnis real terhadap pengelolaan Blok B ke depan, apalagi BUMD lain di seluruh kabupaten/kota,” tuturnya.
Kedua, kata Zubir, SK Menteri ESDM Nomor 76.K/HK.02/MEM.M/2021 tentang Persetujuan Pengelolaan dan Penetapan Bentuk Ketentuan- Ketentuan Pokok Kontrak Kerja Sama pada Wilayah Blok B yang ditandatangani Menteri ESDM, Arifin Tasrif, mengkangkangi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
“Ini juga kegagalan berpikir BPMA dalam menganalisa dan mengevaluasi proposal pengajuan kontrak dari PT PEMA. Karena secara nyata Direktur PT PEMA mengungkapkan di hadapan publik bahwa ke depan pengelolaan Blok B akan menggandeng perusahaan luar. Apabila PT PEMA tidak sanggup bermitra dengan BUMD lokal atau pengusaha lokal seharusnya BPMA merekomendasikan kepada Menteri ESDM untuk dilelang secara terbuka,” sebutnya.
Zubir menambahkan, dirinya bukan ahli hukum dan migas. Hanya sebagai wakil rakyat yang berada di wilayah Blok B sangat menyesalkan sikap Pemerintah Aceh yang sangaja tidak all out memikirkan kedaulatan Migas ini. Seharusnya pengelolaan Migas di tangan Aceh adalah awal menuju kesejahteraan Aceh ke depan dengan melakukan join operasional bersama BUMD seluruh kabupaten/kota di Aceh atau melibatkan pengusaha lokal Aceh.
“Kalau yang dimaksud kedaulatan Migas tetapi dikelola oleh perusahaan luar Aceh maka hal tersebut lebih buruk daripada dikelola BUMN. Apalagi bocoran skema bagi hasil yang ditawarkan PT PEMA lebih rendah yaitu 49% kontraktor dan 51% untuk pemerintah. Sedangkan saat PT PHE skemanya 70% pemerintah dan 30% kontraktor. Artinya akan sangat berdampak pada proses bagi hasil migas nantinya,” ungkap Zubir.
Zubir juga menilai dalih kemampuan keuangan daerah rendah dalam hal pendanaan pengelolaan Blok B adalah pernyataan yang sesat.
“Kebutuhan bonus tanda tangan kontrak (signature bonus) 2 juta Dolar atau sekitar Rp 40 miliar dan komitmen pasti (firm commitmen) serta performa born (jaminan pelaksanaan) dapat dibayarkan dengan dua cara yakni pembayaran tunai atau pencairan jaminan penawaran sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 30 Tahun 2017,” tuturnya.
Selain itu, kata Zubir, metode diterapkan pemerintah untuk pengelolaan Migas masih menganut sistem cost recovery yang bermakna biaya operasi atau dana talangan akan dikembalikan pemerintah dalam periode tertentu selama cadangan Migas bersifat ekonomis.
Artinya, apabila menggunakan modal dalam daerah pengembaliannya tidak akan membutuhkan waktu lama.
Terhadap dinamika tersebut, Zubir mengajak seluruh elemen untuk mencermati kembali kebijakan PT PEMA sebelum tanda tangan kontrak pengalihan berlangsung.
Ia juga mengimbau DPR Aceh agar mengamati dan mempelajari cara pengelolaan Migas di luar daerah. Sehingga pengelolaan Blok B ke depan di tangan Pemerintah Aceh akan memberi manfaat terutama kepada Aceh Utara yang termasuk salah satu kabupaten termiskin di Aceh.
“Saya juga menyarankan Pemkab Aceh Utara untuk lebih proaktif memperjuangkan kepentingan masyarakat di lingkungan perusahaan serta kepentingan daerah, karena selama ini PAD Aceh Utara masih berada di posisi sedang dan menuju rendah. Saya berharap elemen sipil di Aceh Utara untuk menyuarakan hal yang sama terhadap kepentingan Aceh Utara.
Apabila Aceh Utara belum dipanggil dalam ruang pembahasan bisnis riil dalam pengelolaan bersama Blok B tersebut agar tidak surut dan terus berjuang dengan langkah-langkah yang persuasif atau lainnya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur PT PEMA Zubir Sahim, mengatakan pihaknya akan menggandeng perusahaan lain untuk pengelolaan Blok B setelah kontrak PHE NSB berakhir pada 17 Mei 2021. “Kalau sendiri kita tidak mampu, tapi kalau ramai-ramai kita mampu,” kata Zubir Sahim didampingi Kadis ESDM Aceh, Mahdinur, dan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, Martunis.
Menurut Zubir Sahim, pihaknya menggandeng PT Energi Mega Persada, karena PEMA harus menyiapkan dana segar sebagai salah satu persyaratan. Dia mengaku tidak mungkin PEMA membebankan daerah sehingga harus menggandeng perusahaan swasta nasional itu.
“Kita teken kontrak saja nanti harus ada uang di depan. Besarnya hampir 2 juta US Dollar. Kan kita tidak mungkin ambil uang dari APBA atau Bank Aceh karena bukan bank devisi. Kalau kita pakai bank lain juga susah, angunan apa yang kita pakai,” ucap Zubir Sahim.
Namun, menurut Zubir Sahim, belum ada kesepakatan besaran saham PT Energi Mega Persada dalam pengelolaan Blok B.
Soal sumber daya manusia dan operasional lainnya, Zubir Sahim mengaku akan memanfaatkan pekerja yang selama ini berada di bawah PHE untuk dialikan ke PEMA. “Mereka sudah komit,” ucap Zubir Sahim.
Selain itu, kata Zubir Sahim, PEMA juga sudah mempersiapkan belasan SDM lokal dengan merekrut tamatan dari Universitas Syiah Kuala, Universitas Pertamina, Universitas Gadjah Mada, hingga Institute Teknologi Malaysia. (IA)