Banda Aceh — Proses konversi bank konvensional ke syariah saat ini di Provinsi Aceh terus mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Hal itu disampaikan pakar ekonomi syariah dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Dr Hafas Furqani, M.Ec pada pengajian bulanan Majelis Pengajian Tasawuf, Tauhid dan Fiqh (Tastafi) Banda Aceh bekerja sama dengan aliansi Ormas Islam, Jum’at (30/10) malam di Hotel Kyriad Muraya, Banda Aceh.
Hafas Furqani mengatakan, lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) Tahun 2018 meniscayakan lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh harus menganut prinsip syariah.
“Qanun inilah yang menjadi dasar penutupan bank konvensional. Karena dasar hukumnya kuat maka OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak melarang. Malah mereka justru membantu dan memudahkan,“ tegas Hafas Furqani.
Selain Hafas Furqani, pemateri lainnya pada pengajian dengan tema “Setelah Bank Konvensional Kita Singkirkan, Apakah Bank Syariah Siap Menjawab Tantangan?” ini yaitu Safaruddin SH dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dan Abu Yazid Al Yusufi selaku perwakilan ulama dayah yamg dimoderatori Dr Teuku Zulkhairi, aktivis dayah dan akademisi UIN Ar-Raniry.
Pengajian ini dihadiri sejumlah pakar ekonomi Islam, ulama dayah, kalangan perbankan, aktivis, Kadis Syariat Islam Banda Aceh, para pejabat, advokat serta puluhan jamaah dari berbagai kalangan.
Menurut Hafas, Qanun LKS ini sama sekali tidak mengalami penolakan dari Pemerintah Pusat. Padahal, sebutnya, ketika melakukan konversi, bank itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Namun bank-bank konvensional rela berkorban sebagai wujud kepatuhan atas qanun ini.
“Jika yang menjadi masalah adalah fasilitas dan pelayanan maka itu semua akan teratasi dengan sendirinya seiring berjalan waktu. Apalagi, tambahnya, ke depan ada rencana menggabungkan beberapa bank maka itu akan menjadi bank besar yang luar biasa.
Namun demikian berbagai masalah tentu akan banyak muncul, namun ini tentu akan dijawab oleh pihak bank yang telah mengkonversi,” kata Dr Hafas yang juga Wakil Dekan I Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Ar- Raniry.
Sebelumnya, saat menyampaikan materi pertama, Safaruddin menjelaskan pada dasarnya tidak ada masalah dengan Qanun LKS. Qanun merupakan bagian dari keistimewaan Aceh.
Hanya saja, menurut Safaruddin, saat ini di lapangan terdapat banyak keluhan-keluhan dari masyarakat terkait dengan konversi bank konvensional ke syariah.
Sebagai contoh, kalau bank konvensional di Aceh ditutup, jika ATM rusak, maka harus ke Medan untuk mengganti. Dan ini, kata Safaruddin membutuhkan banyak biaya.
Selain itu, Safaruddin juga menyampaikan perlunya keadilan bagi pihak non muslim sehingga bagi mereka tetap tersedia pilihan bank konvensional.
“Pada pasal 6 ayat 2 disebutkan, warga non muslim dapat menundukkan dirinya pada qanun ini. Kata “dapat” ini maknanya adalah opsional. Artinya, boleh ia boleh tidak. Tapi persoalan adalah ketika tidak ada bank konvensional di Aceh. Jadi ini bertentangan dengan prinsip keadilan,” ujar Safaruddin.
Merespon persoalan perlunya keadilan untuk non muslim, pemateri lainnya, Abu Yazid Al Yusufi yang mewakili ulama dayah, dalam pemaparan materinya mengusulkan agar dapat dibuatkan unit khusus bank konvensional bagi non muslim di Aceh.
Yazid juga menggungkapkan tidak tepat analogi “daging babi dalam kuah daging kambing” untuk mengumpamakan adanya bank konvensional di Aceh di tengah upaya konversi bank-bank ke sistem syariah.
Selain itu, Abu Yazid juga juga mengatakan meskipun belum syariah sepenuhnya, kehadiran bank syariah yang dikonversi dari bank konvensional patut disyukuri dan diberi apresiasi karena untuk mensyariahkan bank butuh usaha besar. (IA)