Pengamat Ekonomi Aceh, Rustam Effendi
Banda Aceh — Seluruh proyek/kegiatan yang dibiayai dengan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun 2020 dan belum diumumkan pemenangnya atau belum ditender/dilelang, harus dihentikan dikarenakan fokus utama pemerintah saat ini adalah mencegah/mengatasi pandemi COVID-19 yang secara nasional kian mencemaskan.
Hal ini tertuang dalam surat Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah Nomor 602.1/6075 tanggal 14 April 2020. Plt Gubernur juga meminta seluruh bupati/walikota menyesuaikan kembali target pendapatan daerah masing-masing dan sekaligus melakukan rasionalisasi belanja daerahnya.
Kebijakan ini merupakan tindak lanjut dari Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan Nomor 119/2813/SJ dan Nomor 177/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyelesaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2020.
SKB ini merupakan regulasi pemerintah dalam rangka menangani ancaman Covid-19 dan sekaligus berupaya menjaga daya beli masyarakat dan perekonomian nasional agar tetap terpelihara dengan baik.
Dalam konteks pendapatan Aceh, terjadi pengurangan penerimaan DOKA 2020 sebesar 10 persen. Ini sesuai dengan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, bahwa dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 dan ancaman perekonomian nasional diperlukan perubahan postur dan rincian APBN 2020.
Pengamat ekonomi Aceh, Rustam Effendi, SE, M. Econ, Ph.D (Cand), yang diminta pandangannya menyebutkan bahwa penundaan proyek dan pengurangan jatah penerimaan DOKA Aceh 2020 ini merupakan dua kebijakan yang akan berimplikasi serius bagi Pemerintah Aceh.
Apalagi, secara simultan Pemerintah Aceh juga diharapkan tetap menjaga daya beli masyarakat agar tidak menurun. Merupakan sesuatu yang “paradoks”. Sebuah kondisi yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya.
“Hal yang tidak mudah bagi Pemerintah Aceh menjaga daya beli masyarakatnya agar tidak menurun, sementara disisi yang lain kapasitas fiskalnya berkurang 10 persen ditambah lagi dengan keharusan menunda proyek/kegiatan pembangunan pada tahun 2020 ini,” ujar Rustam Effendi, Lektor Kepala Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unsyiah, Jum’at (17/4) malam.
Menurutnya, kehilangan penerimaan DOKA sebesar Rp 800 miliar lebih mengharuskan rasionalisasi kembali seluruh program/proyek yang telah direncanakan sebelumnya.
Postur belanja daerah akan mengalami perubahan yang drastis akibat adanya arahan untuk melakukan realokasi dan refocussing, termasuk menunda pelelangan proyek/kegiatan dalam APBA 2020.
Kehilangan DOKA 10 persen ditambah menunda tender proyek bagaikan ibarat sebatang tubuh yang bukan hanya berkurang tenaganya, tapi juga telah membatasi ruang gerak tubuhnya.
Penundaan lelang proyek tentu akan membatasi peluang kerja anggota masyarakat. Dengan demikian, berimbas pada berkurangnya sumber penghasilan (upah).
Konsekwensi dari penundaan ini akan berakibat lebih lanjut, yakni terhambatnya pelbagai lapangan usaha lainnya yang terkait dengan keberadaan proyek seperti penyedia material, transportasi, akomodasi, dan jasa lainnya. Siklus yang selama ini bersambung, menjadi terputus. Implikasinya, roda pembangunan menjadi sulit diakselerasi.
Dalam konteks pembangunan, proyek merupakan urat nadi vital. Dengan kata lain, proyek merupakan alat (tool) pembangunan yang terpenting. Di dalam proyek/kegiatan terkonsentrasi semua sumberdaya, baik anggaran, sumberdaya input, maupun sumberdaya manusia.
“Tanpa implementasi proyek, tidak mungkin ada pembangunan. Tidak akan tersedia lapangan kerja, tidak ada peluang mendapatkan pendapatan (upah), dan tentu tidak mungkin menyelesaikan persoalan pengangguran dan kemiskinan. Dengan demikian, hasrat untuk menggapai kesejahteraan, termasuk mencapai pertumbuhan ekonomi harus tertunda untuk sementara waktu,” ungkap Rustam Effendi.
Bagi Aceh sendiri, lanjutnya, kebijakan yang ditelurkan ini merupakan pukulan yang amat berat bagi pemerintah daerah, termasuk bagi pelaku usaha di daerah. Apalagi mengingat ketergantungan jalannya roda pembangunan selama ini sangat tergantung pada satu-satunya ‘onderdil, yaitu anggaran pemerintah (APBA/APBK).
Idealnya, dalam situasi yang menghendaki terjaganya daya beli masyarakat, semestinya tidak seluruh proyek/kegiatan ditunda pelelangannya. Pemerintah semestinya juga mempertimbangkan kepentingan para pelaku usaha, termasuk pelaku usaha mikro.
Caranya, melakukan pemilahan dan pemilihan proyek/kegiatan secara selektif, mana saja yang patut untuk tetap dibiayai/dilaksanakan.
Tugas pemilahan/pemilihan proyek/kegiatan prioritas ini dilakukan oleh sebuah tim khusus yg kapabel dan berintegritas dibawah arahan kementerian terkait. Jika saja kebijakan ini yang dipilih, maka ketersediaan lapangan kerja dan peluang dunia usaha tetap terjaga, meskipun tidak optimal seperti masa normal.
“Meski kondisi terakhir sebenarnya kita masih dihadapkan pada persoalan serius di bidang ekonomi, termasuk lemahnya daya beli masyarakat, namun munculnya pandemi COVID-19, mengharuskan pemerintah memutar haluan arah, lebih mengedepankan soal kemanusiaan/kesehatan dan mengabaikan soal ekonomi untuk sementara waktu,” pungkasnya. (m)